Pendidikan Inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus



Oleh Cut Almira Meutia

KITA patut berbangga dan bersyukur karena Aceh merupakan satu propinsi yang mendapat penghargaan atas kepeduliannya terhadap pengembangan sekolah inklusif dan Sekolah Luar Biasa di Aceh pada 2013 lalu. Penghargaan ini diberikan karena Pemerintah Aceh telah menunjukkan komitmen yang tinggi dan kerja keras dalam mendukung gerakan pendidikan inklusi di Indonesia.

Bentuk komitmen dan kebijakan yang diberikan di antaranya  mengeluarkan Pergub Pendidikan Inklusif, membantu peralatan untuk sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, membantu SLB sebagai sekolah rujukan inklusi dalam bentuk operasional SLB dan melatih guru, menyediakan beasiswa untuk mahasiswa calon guru PLB, baik untuk S-1 murni maupun S-1 kedua.

Dukungan Pemerintah Aceh terhadap pendidikan inklusif dan pendidikan anak berkebutuhan khusus sejatinya telah dimulai pada 2006 dengan membuka jalan kerja sama kepada beberapa lembaga swadaya masyarakat baik lokal maupun nasional, mengirimkan beberapa mahasiswa untuk menuntut ilmu di bidang pendidikan anak berkebutuhan khusus dan sebagainya.

Selanjutnya pada 2008 telah lahir Qanun Nomor 5 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan pendidikan khusus bagi penduduk Aceh usia sekolah yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial serta yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Qanun ini terasa sangat istimewa karena Aceh tercatat menjadi satu dari beberapa provinsi seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah yang memiliki aturan daerah yang sangat berpihak kepada anak berkebutuhan khusus.

Pendidikan inklusif pada hakekatnya adalah bagaimana memahami segala kesulitan pendidikan yang dihadapi oleh peserta didik. Mereka mendapat kesulitan untuk mengikuti beberapa kurikulum yang ada, atau tidak mampu mengakses cara baca tulis secara normal, atau kesulitan mengakses lokasi sekolah dan sebagainya. Pendekatan pendidikan inklusif tidak seharusnya melihat hambatan ini dari sisi anak/peserta didik yang memiliki kelainan. Tetapi harus melihat hambatan ini dari sistem pendidikannya sendiri, kurikulum yang belum sesuai untuk mereka, sarana yang belum memadai, guru yang belum siap melayani mereka dan sebagainya.

Dengan demikian untuk merubah yang terekslusikan menjadi terinklusi adalah dengan mengindentifikasikan hambatan atau  kesulitan yang dihadapi untuk dapat menghadapi kesulitan yang dimilikinya (Dyah S, 2008). Sekolah inklusi adalah sekolah yang mengijinkan peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus untuk dapat belajar di kelas pendidikan umum (Choate, 2000 dalam Sunarjo, 2006).

 Beberapa kendala
Penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia, khususnya di Aceh, beberapa kendala yang ditemui antara lain: Adanya sikap negatif masyarakat tentang penyandang disabilitas maupun penderita autis di sekolah umum; Adanya penolakan baik dari orang tua maupun guru; Ada anggapan bahwa ‘penyakit’ yang mereka alami akan menular kepada anak mereka; Mengapa anak-anak seperti itu dimasukkan ke sekolah umum bukan ke Sekolah Luar Biasa saja; Guru merasa tidak memiliki kemampuan yang mumpuni untuk mengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus; Keberadaan mereka akan menurunkan ranking sekolah secara umum, dan lain-lain sebagainya.

Pengalaman penulis beberapa bulan melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan inklusif, penulis mendapatkan pernyataan dan pertanyaan apakah dengan adanya pendidikan inklusi maka sekolah luar biasa akan ditutup. Hal ini menarik sebab pertanyaan bukan saja dari orang tua, melainkan juga dari guru-guru penyelenggara pendidikan inklusi. Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif,  Sekolah Luar Biasa (SLB) dalam hal ini akan menjadi pusat sumber bagi sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusi. Mereka menjadi rujukan bahan pengajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang belajar di sekolah umum tersebut, sehingga ada komunikasi yang intensif antara sekolah-sekolah umum dengan SLB. Pertanyaanya adalah sudahkah itu terjadi?

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah semua anak-anak berkebutuhan khusus khususnya penderita austis dapat bersekolah di sekolah umum yang ber “merek” inklusif tanpa melihat keadaan yang dialami peserta didik dan meninggalkan SLB, tidak semua anak sesuai untuk mengenyam pendidikan di sekolah inklusif hal ini terkait dengan keadaan yang dialami anak, merujuk pada Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2006 bahwa tidak semua anak berkebutuhan khusus layak untuk bersekolah di sekolah inklusif oleh karena itu fungsi SLB baik SDLB, SMPLB dan SMALB harus memiliki sumber daya mampu memberikan layanan maksimal bagi peserta didik.
(tribunnews.com)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama