Bahas Keberadaan Tanah Ulayat, Fauzi Bahar Pimpin Dialog Ninik Mamak se-Sumbar dengan Menteri ATR dan BPN RI

Dialog dan selaturahmi ninik mamak se-Sumbar bersama Menteri ATR dan BPN RI


Padang, integritasmedia.com - TANAH ulayat adalah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak Ulayat. Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat.


Hal tersebut disampaikan oleh Ketua LKAAM Sumatera Barat DR. H. Fauzi Bahar Datuak Nan Sati, M.Si, dalam kegiatan dialog dan silahturahmi bersama Menteri ATR dan BPN RI Marsekal TNI (Purn) Hadi Tjahjanto dengan Niniak Mamak se-Sumatera Barat, Senin (19/6/23), di aula FMIPA Kampus UNP, Air Tawar Padang.


Ditegaskan Fauzi Bahar lagi, tanah ulayat adalah suatu lahan yang dikuasai oleh ninik mamak para kepala suku (datuk). Secara hukum adat, tanah ulayat ini diserahkan pengelolah dan pemanfaatannya kepada masing-masing suku yang ada. Kebiasaan ini secara turun temurun telah berlangsung sejak lama, sehingga status tanah ulayat secara adat sangat kuat.


Dijelaskannya lagi, setiap nagari di Minangkabau mempunyai ulayat-ulayat dengan batas-batas sesuai dengan situasi alam sekitarnya, seperti puncak bukit atau sungai. Dan luas wilayah suatu nagari tidaklah sama. 


Ada dua jenis ulayat dalam suatu nagari, yaitu ulayat nagari dan ulayat kaum. Tanah ulayat kaum adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang berada diatasnya dan didalamnya merupakan hak milik semua anggota kaum yang terdiri dari jurai/paruik yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh mamak jurai/mamak kepala waris.


"Tanah ulayat nagari adalah tanah ulayat beserta sumber daya alam yang ada di atas dan di dalamnya merupakan hak penguasaan oleh ninik mamak Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat nagari, sedangkan Pemerintahan Nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur untuk kesejahteraan masyarakat", ungkap Fauzi Bahar.


Sedangkan tanah ulayat lingkup cakupannya lebih luas daripada tanah adat, sementara tanah adat merupakan bagian dari tanah ulayat. Dengan demikian, tanah ulayat yang dimaksud sebagai aset nagari dalam sistem pemerintahan bernagari adat atau pemerintahan lokal identik memiliki sistem asli yang masih hidup di dalam masyarakat.


Namun begitu, keberadaan tanah ulayat dapat dicabut hak kepemilikannya dengan syaratnya harus ada ganti rugi yang layak, dan pencabutan itu dilakukan atas dasar ketentuan undang-undang untuk melegitimasi kewenangan pencabutan hak atas tanah itu. Tanah ulayat dapat diambilalih atau dicabut oleh Pemerintah apabila tanah tersebut benar-benar digunakan untuk kepentingan umum.


Bahkan, status tanah ulayat dapat dijadikan sebagai hak milik perorangan apabila status tanah ulayat tersebut sudah menjadi “tanah negara”, atau telah dikerjakan dan dikelola secara terus menerus dalan jangka waktu yang oankang, dan telah menjadi sumber kehidupan.


"Sementara, tanah ulayat tidak bisa untuk diperjual belikan, karena tanah ulayat bukan objek pendaftaran tanah berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah", tegas mantan Walikota Padang dua periode itu.


Pada dasarnya hak ulayat telah diakui keberadaanya dalam UUPA, namun pengakuan tersebut masih harus diikuti syarat-syarat tertentu yaitu : Pertama, eksistensi atau keberadaannya, hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada, yang berarti bahwa UUPA tidak mengatur eksistensinya, pungkas Ketua LKAAM tersebut.(henni andri)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama