Meluruskan Tradisi Bajapuik di Piaman

Fauzi Bahar,  Leonardy Harmainy dan Amril Amin.(foto-ha)

Padang,  integritasmedia.com - TRADISI Bajapuik (Jemput) telah menjadi ciri khas atau jati diri yang telah menjadi adat bagi masyarakat Pariaman (Piaman) sejak ratusan tahun lalu. Bajapuik dipandang sebagai suatu kewajiban dimana pihak dari keluarga perempuan memberi sejumlah uang atau benda berharga yang telah disepakati bersama kepada pihak laki-laki (calon suami) sebelum akad nikah dilangsungkan.


Hal tesebut disampaikan oleh Ketua DPD Persatuan Keluarga Daerah Piaman (PKDP) Kota Padang, Amril Amin, S.AP, MM dalam diskusi bersama jajaran pengurus Media Online Indonesia (MOI)  Sumbar, Selasa (21/11/23).


Diskusi yang diadakan di Kantor Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat, Komplek Masjid Raya Sumbar tersebut, turut dihadiri oleh Ketua LKAAM Sumbar DR. H. Fauzi Bahar Dt. Nan Sati, M.Si, Anggota DPD RI Leonardy Harmainy Dt. Bandaro Basa, S.IP, MH, dan Dr. Otong Rosadi, SH, MH dari kalangan akademisi. 


"Uang japuik ini, adalah pemberian dari keluarga pihak perempuan kepada pihak laki-laki, yang diberikan pihak perempuan pada saat acara manjapuik marapulai dan akan dikembalikan lagi pada saat mengunjungi mertua pada pertama kalinya (manjalang)", ungkap Aciak sapaan akrab Amril Amin menambahkan. 


Dilanjutkan Acik, sementara saat ini, budaya tersebut banyak ditiru oleh masyarakat di luar Piaman. Sehingga hakikat dari uang japuik yang sejatinya kembali balik kepada pihak wanita, mungkin menjadi uang hilang di luar Piaman.


Bahkan kini, status sosial yang menentukan besaran uang japuik itu. Padahal, dalam adat kebiasaan masyarakat Piaman uang japuik itu berdasarkan kepada gelar dari marapulai (calon mempelai laki-laki), yakni Sayyid, baginda, dan Sultan (Sidi, Bagindo, dan Sutan).


"Makanya, gelar-gelar tersebut memiliki peran penting dalam identitas budaya Pariaman. Dan, gelar tersebut diwariskan dari ayah dan berhubungan dengan kekerabatan ibu, sekaligus mencerminkan hierarki masyarakat dan sejarah asal-usul keluarga", jelas Aciak. 


Bahkan uang japuik Itu sebagai tanda menghargai dan memuliakan seorang laki-laki yang akan menjadi sumando (suami dari anak perempuannya). Serta terjalinnya tali silahturahmi yang begitu kuat dan kokoh antara keluarga calon anak daro dan keluarga marapulai selama mengikuti prosesi adat perkawinan ini.


Penetapan uang japuik biasanya ditetapkan secara musyawarah dengan memperharikan "alua jo patuik" dalam acara "baretong" sebelum hari perkawinan, biasanya mamak (paman dari pihak ibu) akan bertanya pada calon anak daro, apakah benar-benar siap akan menikah, karena biaya baralek (resepsi) beserta isinya termasuk uang japuik akan disiapkan oleh keluarga perempuan.


Ditegaskan Aciak, jadi tidak ada yang salah dari budaya bajapuik yang telah berusia ratusan tahun dilaksanakan oleh masyarakat Piaman, sehingga telah menjadi adat pernikahan di tengah-tengah masyarakat. 


Untuk itu, dia meminta dan mengajak semua pihak termasuk LKAAM Sumbar untuk dapat meluruskan adat manjapuik ini kembali kepada yang telah tersirat dalam adat Piaman, agar tidak ada lagi kesalahan dalam penerapannya yang berujung pada tindakan yang emosional seperti yang dilakukan oleh salah seorang masiswi asal Pariaman beberapa hari lalu, pungkas Wakil Ketua DPRD Kota Padang itu. 


"Tidak ada yang salah dengan adat banjapuik ini, yang salah adalah saya sebagai mamak yang tidak dapat membentingi kemenakan dengan keimanan", tegas Fauzi Bahar menyambung pernyataan Amril Amin. 


Menurut Ketua LKAAM itu, adat banjapuik ini mengambarkan betapa tingginya derajad si wanita. Karena dia bersedia memilih dan menjemput "junjungannya" (calon suaminya) berapapun itu. 


Sementara itu Leonardy Harmainy berpendapat, budaya manjapuik ini sebagai bentuk penghargaan bagi laki-saki atau “sumando” di Pariaman.  


Sementara Leonardy Harmainy Dt. Bandaro Basa, S.IP, MH, yang merupakan urang sumado Piaman itu mengatakan, karena masyarakat Minangkabau penganut sistem matrilineal atau mengikuti garis keturunan ibu, yakni orang Minang akan menganggap ibu sebagai sumber utama dalam perkembangan hidup seseorang. Maka seorang ibu merupakan prioritas utama, sehingga ketika menikah seorang suami harus mengikuti keluarga istrinya.


Menurutnya lagi, adanya  uang Japuik juga tidak terlepas dari falsafah adat Minangkabau yang memandang bahwa suami merupakan orang yang datang (urang sumando atau pendatang di rumah keluarga istrinya) maka suami harus dihormati dan diperlakukan dengan sebaik-baiknya serta berlaku nilai moral datang karano dipanggia, tibo karano dijapuik (datang karena dipanggil, tiba karena dijemput).


Sehingga calon pengantin laki-laki akan dijemput oleh pihak keluarga calon pengantin perempuan serta diantar pula oleh keluarga pihak laki-laki sebagai bentuk keikhlasan melepas anak laki-laki mereka. Jadi, uang Japuik dalam adat masyarakat di Padang Pariaman itu dirasa perlu, dikarenakan sebagai bentuk pelepasan sekaligus penghargaan terhadap anak laki-laki yang tugasnya sebagai tumpuan atau pencari nafkah dalam keluarga.


“Jila laki-laki dihargai dengan bentuk uang japuik, semetara anak perempuan akan dihargai dengan uang atau emas yang jumlahnya melebihi uang japuik itu sendiri, yang akan diterimannya saat prosesi adat manjalang mintuo”, pungkas Anggota DPD RI.


“Sistem hukum adat adalah sistem hukum yang berlaku di Indonesia dan bersumber dari nilai dan norma yang ada di tengah masyarakat. Hukum adat itu tidak tertulis dan dibentuk dari kesepakatan-kesepakatan norma yang ada di masyarakat. Hukum adat diakui oleh negara sebagai hukum yang sah dan memiliki tujuan untuk mengatur tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum adat juga memiliki sumber-sumber hukum, seperti adat istiadat atau kebiasaan masyarakat”, terang Otong Rosadi.


Dilanjukanya lagi, di Indonesia hukum adat itu dipengaruhi oleh budaya dan agama yang ada di masyarakat. Meskipun hukum adat tidak tertulis, namun hukum ini telah dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakatnya. Sistem hukum adat memiliki peran penting dalam mengatur jalannya pemerintah dan menciptakan keadilan dan ketertiban di lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, hukum adat harus ditaati oleh seluruh warga negara dan pemerintah harus menjalankan hukum adat dengan adil dan bijaksana.


Sistem hukum adat memiliki kekuatan normatif yang kuat di dalam masyarakat adat. Norma-norma hukum adat dihormati dan diikuti oleh anggota masyarakat sebagai bagian dari tradisi dan identitas budayanya. Namun, bila telah keluar dari koridur norma dan kebiasaan yang berlaku maka itu harus diluruskan kembali, pungkas mantan Rektor Unes itu.(henni andri)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama