Foto ilustrasi |
Padang, integritasmedia.com - TAK hanya satu alasan memaksa Juweni bercita-cita untuk dapat bersekolah ke SMA Negeri 2 Padang, salah satu sekolah yang berada di kawasan Kecamatan Padang Barat. Tak jauh dari kawasan GOR Haji Agus Salim.
Untuk sampai ke sana tak cukup sulit, karena adanya transportasi satu arah trayek pasar raya. Nantinya cukup turun sebelum Jembatan Purus, kemudian tinggal berjalan kaki beberapa meter telah sampai di gerbang SMA Negeri 2 Padang.
Jalur prestasi ia pilih untuk dapat bersekolah di SMA Negeri 2 Padang, selain kondisi lingkungan dan tempat tinggalnya di Sungai Tarung, Kelurahan Bungo Pasang, Kecamatan Koto Tangah yang jauh dari zonasi beberapa sekolah negeri. Sebut saja SMA Negeri 7 Padang berjarak 6000 meter, kemudian SMA Negeri 13 berjarak 9000 meter.
Praktis sistim yang diterapkan sejak lama oleh pemerintah dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), atau yang dikenal dengan sistem penerimaan siswa baru (PSB) Online, cukup menyulitkan bagi calon siswa seperti dirinya.
Yang lebih mengherankan ternyata sebagai kecamatan terbesar di ibukota Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), jumlah sekolah lanjutan atas negeri tak sebanding dengan luas wilayah Kecamatan Koto Tangah. Pemerintah maupun daerah sepertinya tak siap dengan sistim PPDB tersebut.
Betapa tidak, meski ada beberapa sekolah negeri yang masuk dalam wilayah Kecamatan Koto Tangah, seperti SMA Negeri 7 Padang dan SMA Negeri 13 Padang. Namun kondisi PPDB yang sudah sulit sejak beberapa tahun terakhir, kian diperparah dengan jarak zonasi rumah ke sekolah tujuan yang dipatok hanya satu kilometer.
Sementara jarak rumah Juweni di Sungai Tarung Kelurahan Bungo Pasang Kecamatan Koto Tangah untuk sampai ke SMA Negeri 7 Padang di Kelurahan Batipuh Panjang jaraknya mencapai 6 kilometer lebih. Begitu juga dengan SMA Negeri 13 Padang di Kelurahan Balai Gadang jaraknya semakin jauh hingga delapan kilometer lebih.
Kendati tahun ini pemerintah provinsi membangun sekolah baru, SMA Negeri 17 Padang. Penambahan sekolah baru itu ternyata tak berpihak pada kelurahan tempat Juweni tinggal. Jaraknya juga tak mendukung. Masuk dari jalur perpindahan orang tua, ia tak termasuk kategori itu. Salah satu pesaing dirinya untuk bersekolah di SMA negeri. Ya, ada berkisar 350 orang tua yang pindah ke Padang. Beruntung lah calon siswa yang masuk dari jalur itu. Masuk dari jalur afirmasi, apalagi. Status keluarganya tak ada yang peduli.
Faktanya, kehidupan orangtua Juweni termasuk salah satu keluarga yang cukup memprihatinkan. Orangtuanya telah lama bercerai, dan untuk menghidupi keluarganya sang ibu bekerja sebagai tukang cuci piring pada sebuah warung lontong di pasar pagi Dadok Tunggul Hitam. Ia harus berjuang untuk menghidupi kedua anaknya.
Untuk bersekolah ke swasta jelas tak mungkin. Apalagi iuran bulanannya itu cukup berat. Iurannya bergerak mulai dari 300 ribu rupiah. Tentu bukan hal yang muluk, jika harapannya hanya ingin bersekolah di sekolah negeri. Harapan yang sama bagi Juweni Juweni lainnya. Haruskah Juweni tak bersekolah pak, bu ?, kata Juweni dalam suatu kesempatan di kawasan Dadok Tunggul Hitam.(Marzuki RH)
Posting Komentar