Oleh : Miko Kamal
TULISAN ini soal penting: sumbangan dana kampanye terlarang dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Mengapa penting? Sebab, inilah satu-satunya pelanggaran atas proses Pilkada yang diganjar dengan hukuman serius, yaitu pembatalan sebagai pasangan calon kepala daerah.
Sumbangan terlarang diatur di dalam Pasal 76 ayat (1) huruf b UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Pasal ini kemudian dikuatkan dan diperjelas di dalam Pasal 73 ayat (1) huruf b dan ayat (4) huruf a dan b Peraturan KPU (PKPU) No. 14 Tahun 2024 tentang Dana Kampanye Peserta Pilkada.
Yang terkategori sebagai sumbangan terlarang adalah sumbangan dari (1) negara asing, lembaga swasta asing, lembaga swadaya masyarakat asing dan warga negara asing; (2) sumbangan dari penyumbang atau pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya; (3) sumbangan dari pemerintah dan pemerintah daerah; dan (4) sumbangan dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik desa atau sebutan lain (Pasal 76 ayat (1) UU Pilkada).
Terkait sumbangan terlarang yang berbau-bau asing, pembuat aturan memperlebar cakupannya menjadi (1) perusahaan asing yang beroperasi di luar negeri dan/atau di Indonesia yang seluruh sahamnya dimiliki asing; (2) perusahaan di Indonesia yang mayoritas sahamnya dimiliki asing atau sahamnya lebih dari 50% (lima puluh persen) dimiliki asing; dan (3) organisasi masyarakat asing (Pasal 73 ayat (3) PKPU No. 14/2024).
Jenis sumbangan terlarang yang sangat mungkin terjadi adalah yang berasal dari penyumbang yang tidak jelas identitasnya. Jenis yang lainnya mungkin saja terjadi, tapi kemungkinannya kecil karena para pihak sudah awas sejak awal.
Tentang penyumbang yang tidak jelas identitasnya dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 73 ayat (4) huruf a dan b PKPU No. 14/2024 menjadi 2 jenis: (1) Penyumbang yang menggunakan identitas orang lain; (2) Penyumbang yang menurut kewajaran dan kepatuhan tidak memiliki kemampuan untuk memberikan sumbangan sebesar yang diterima oleh pelaksana kampanye.
Paling tidak, ada 2 alasan penting di balik larangan menerima sumbangan dari penyumbang yang tidak jelas identitasnya. Pertama, merintangi masuknya investor politik. Investor politik tidak dibenarkan hidup dan berkembang dalam lanskap perpolitikan Indonesia. Layaknya investasi bisnis, maksud investor politik adalah meraup laba berkali-kali lipat dari nilai investasinya. Itu tentu terjadi bila kelak pasangan calon kepala daerah yang dibantunya berkuasa.
Investasi politik tidak sama dengan partisipasi publik dalam politik. Partisipasi publik dalam politik dibolehkan. Jumlahnya terbatas: perorangan dibolehkan menyumbang paling banyak Rp. 75 juta dan badan hukum swasta boleh berpartisipasi paling banyak Rp. 750 juta.
Kedua, menghambat praktik cuci uang (money laundering). Di tengah praktik korupsi yang marak, praktik cuci uang adalah salah satu jalan bagi para koruptor mengibuli atau lari dari kejaran aparat penegak hukum. Dengan mencuci uang melalui sumbangan dana kampanye, koruptor berpotensi mendapatkan 2 keuntungan sekaligus: menghilangkan jejak uang hasil kejahatan dan mendapatkan kembali (plus keuntungan) uang yang sudah dicucinya jika kepala daerah yang dibantunya memenangi kontestasi.
Karena 2 alasan itu, pembuat undang-undang berketetapan hati bahwa setiap sumbangan dana kampanye harus dibuka secara transparan: berapa jumlahnya dan siapa penyumbangnya.
Sumbangan terlarang yang berasal dari peyumbang yang tidak memiliki kemampuan bisa terjadi melalui 2 jalan: melibatkan orang lain atau dengan cara mengklaim sebagai sumbangan sendiri.
Saya mempelajari laporan dana kampanye pasangan calon kepala daerah di 16 kabupaten dan kota di Sumatera Barat, dengan seksama. Hasilnya, ditemukan beberapa pasangan calon bupati dan walikota yang menyumbang melebihi kemampuan mereka. Mengukur mampu atau tidaknya pasangan calon menyumbang tidaklah sulit. Hanya 1 dokumen yang dibutuhkan: laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) pasangan calon.
LHKPN adalah dokumen wajib. Setiap pasangan calon mesti melaporkan harta kekayaannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Itu dilakukan sebelum mendaftar sebagai pasangan calon. LHKPN bisa diakses oleh semua orang.
Semua harta yang dimiliki pasangan calon harus didaftarkan. Mulai dari harta yang berbentuk tanah dan bangunan, alat transportasi dan mesin, harta bergerak lainnya, surat berharga, kas dan setara kas sampai harta dalam bentuk yang lain atau harta lainnya.
Dari berbagai jenis harta yang didaftarkan itu, yang sangat penting diperhatikan adalah harta dalam bentuk kas dan setara kas. Ini yang disebut dengan harta yang liquid atau harta yang dapat dicairkan setiap saat. Harta dalam bentuk lainnya bukan tidak bisa dicairkan. Bisa, tapi butuh waktu dan kurang masuk akal itu bisa dilakukan dalam waktu singkat. Sebab, menjual tanah dan bangunan tidak serupa menjual kacang goreng di emperan toko.
Jadi, bila ada calon kepala daerah yang nilai sumbangannya melebihi harta liquidnya, maka hampir bisa dipastikan mereka menggunakan sumbangan yang berasal dari penyumbang yang tidak jelas identitasnya. Risiko besar menunggu. Sanksinya tidak main-main: pembatalan sebagai pasangan calon.
Sanksi itu tertera jelas di dalam Pasal 82 ayat (1) PKPU No. 14/2024. Tidak percaya? Simaklah baik-baik rumusan pasalnya: "Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu dan Pasangan Calon yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dan ayat (2), dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai Pasangan Calon sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pemilihan".
Penulis: Adalah Ketua DPC Peradi Kota Padang, Advokat dan Wakil Rektor 3 Universitas Islam Sumatera Barat.
Posting Komentar