Skema Baru Pemilu Nasional, MK Putuskan Pemilu DPRD Digabung Pilkada dan Diselenggarakan Dua Tahun Setelah Presiden Dilantik

Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (kanan) bersama Wakil Ketua MK Saldi Isra (kiri) saat sidang uji materi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia di Mahkamah Konstitusi, Senin (23/6/2025) (foto- Bayu Pratama S/ANTARA)



Jakarta, integritasmedia.com - MAHKAMAH Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan penting yang akan mengubah peta penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia. Dalam sidang putusan yang digelar pada Kamis, 26 Juni 2025, MK memerintahkan pemisahan antara pemilihan legislatif (Pileg) tingkat pusat dan pemilihan kepala daerah (Pilkada), serta pileg untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Putusan ini menjadi tonggak baru dalam sejarah kepemiluan Indonesia, menghapus pola lama yang selama ini menumpuk beban pemilu dalam satu waktu serentak.


Dalam sidang dengan nomor perkara 135/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu serentak yang mencakup semua tingkatan—dari DPR, DPD, Presiden hingga DPRD dan Pilkada—tidak sesuai dengan prinsip keadilan elektoral serta berpotensi melemahkan efektivitas dan akuntabilitas pemilu itu sendiri.


"Amar putusan mengabulkan pokok permohonan untuk sebagian," kata Ketua MK, Suhartoyo, saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta. Artinya, MK mengabulkan sebagian dari permohonan yang diajukan oleh Yayasan Perludem, yang diwakili oleh Khoirunnisa Nur Agustyati dan Irmalidarti.


Dengan keputusan ini, MK menegaskan bahwa pemungutan suara untuk memilih anggota DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden tetap akan dilaksanakan secara serentak, seperti pola yang sudah berjalan selama ini. Namun, yang berbeda kini adalah: pemilu untuk memilih anggota DPRD tingkat provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta Pilkada (gubernur, bupati, dan wali kota) akan diselenggarakan secara serentak pada waktu yang terpisah, yakni dalam rentang 2 hingga 2,5 tahun setelah pelantikan presiden.


Putusan ini menggugurkan praktik sebelumnya yang menyatukan seluruh pemilu dalam satu momentum serentak lima tahunan, yang selama ini dinilai terlalu membebani logistik, penyelenggara, dan juga pemilih.


Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa sejumlah pasal dalam dua undang-undang pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni:

Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) dari UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pasal 3 ayat (1) dari UU No. 8 Tahun 2015, yang mengubah UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pilkada.


Ketiga pasal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, kecuali jika dimaknai bahwa pemungutan suara DPRD dan Pilkada dilakukan secara serentak dalam jangka waktu minimal dua tahun dan maksimal dua setengah tahun setelah pelantikan Presiden dan DPR/DPD hasil pemilu sebelumnya.


Lebih lanjut, MK juga menekankan bahwa seluruh proses pemungutan suara tersebut harus dilakukan pada hari libur atau hari yang secara resmi diliburkan secara nasional guna memastikan partisipasi masyarakat.


Gugatan ini diajukan oleh Yayasan Perludem sebagai respons atas beban berat yang dialami dalam pemilu serentak sebelumnya, khususnya Pemilu 2019, di mana ribuan petugas KPPS gugur karena kelelahan akibat kompleksitas pemilu lima kotak.


Perludem menilai penyatuan pemilu pusat dan daerah dalam satu waktu justru bertentangan dengan asas-asas demokrasi, transparansi, dan keadilan. Selain itu, pemisahan ini juga diharapkan memberi ruang lebih besar bagi pemilih untuk memahami isu-isu lokal dan nasional secara terpisah, serta memberi waktu kepada penyelenggara untuk lebih fokus dalam pelaksanaan tiap tahapan.


Putusan ini akan berdampak langsung pada penjadwalan tahapan pemilu mendatang. Jika Presiden hasil Pilpres 2029 dilantik pada Oktober 2029, maka Pileg DPRD serta Pilkada baru akan dilaksanakan antara Oktober 2031 hingga April 2032. Hal ini akan menciptakan dua siklus politik besar dalam satu periode lima tahunan, yang menuntut penyesuaian anggaran, regulasi teknis, hingga kesiapan partai politik.


KPU, Bawaslu, dan seluruh aktor politik lainnya kini dituntut untuk segera merespons putusan ini dalam bentuk revisi regulasi teknis serta sosialisasi luas kepada masyarakat.


Putusan Mahkamah Konstitusi ini menandai reformasi besar dalam penyelenggaraan demokrasi elektoral Indonesia. Dengan memisahkan pemilu pusat dan daerah, diharapkan demokrasi menjadi lebih representatif, efektif, dan akuntabel.


Kini, masyarakat, partai politik, serta penyelenggara pemilu dihadapkan pada tantangan baru: membangun sistem kepemiluan yang lebih matang, dengan tetap menjaga partisipasi publik dan integritas proses demokrasi.


“Pemilu bukan sekadar soal logistik, tetapi tentang keadilan dan kualitas demokrasi. Putusan ini adalah awal untuk memperbaiki keduanya,”  komentar seorang pengamat politik usai sidang MK.(Mond/hen)


#PemiluNasional #PutusanMK #MahkamahKonstitusi #Pilpres #Pilkada #DPR #DPRD

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama