TAK CUKUP PEDULI, PADANG BUTUH HMI YANG PROLINGKUNGAN


Oleh : Mulya Hidayat



Padang di Bawah Bayang-bayang Bencana

KOTA Padang, sebagai pusat aktivitas sosial dan ekonomi di pesisir barat Sumatera, kini menghadapi ancaman ekologis yang semakin kompleks dan sistemik. Pada 7 Maret 2024, kawasan Lubuk Kilangan dan Pauh dilanda banjir bandang akibat curah hujan ekstrem di hulu Sungai Batang Kuranji. Menurut data BPBD Kota Padang, lebih dari 1.200 rumah terdampak dan ribuan warga terpaksa mengungsi. Fenomena ini bukan peristiwa tunggal. Dalam rentang 2022–2024, abrasi pantai di kawasan Purus dan Muaro Lasak terus meluas, mengancam permukiman pesisir dan merusak jalur ekonomi pesisir barat. Sementara itu, longsor dan erosi lahan menjadi langganan di Bungus dan Limau Manis, memutus akses jalan serta merusak kebun warga.


Semua ini menegaskan bahwa daya dukung ekologis Kota Padang telah melemah secara signifikan. Alih fungsi lahan, buruknya tata ruang kota, serta eksploitasi ekonomi tanpa etika menjadi penyebab utama. Ironisnya, dalam situasi mendesak ini, kesadaran kolektif-terutama dari kalangan intelektual kampus—masih berada pada titik terendah. Di forum-forum mahasiswa, isu lingkungan masih kalah gaung dibanding tema politik elektoral atau wacana peradaban. Padahal, dalam skema krisis global, lingkungan adalah akar dari banyak ketimpangan sosial.


Mahasiswa dan Politik Bumi yang Terlupakan

Padang tengah menghadapi tekanan ekologis multidimensi. Alih fungsi lahan hijau menjadi kawasan permukiman terus berlangsung, reklamasi pantai mempersempit ekosistem laut, dan volume sampah kota yang mencapai lebih dari 600 ton per hari (DLH Kota Padang, 2023) masih belum tertangani secara sistemik. Aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan ini diperparah oleh lemahnya penegakan aturan tata ruang dan minimnya inovasi kebijakan daerah.


Sayangnya, isu besar ini masih luput dari perhatian mahasiswa. Banyak yang terjebak dalam pusaran debat identitas, politik kampus, dan orientasi jangka pendek. Mereka lupa bahwa “politik bumi” yakni perjuangan menjaga ekosistem adalah basis nyata dari keadilan sosial dan keberlanjutan kehidupan umat. Jika para intelektual muda abai, maka siapa lagi yang akan berbicara untuk bumi?


HMI dan Urgensi Ekoteologi

Dalam kerangka ajaran Islam, manusia ditempatkan sebagai khalifah fil ardh (QS al-Baqarah: 30), yang bertugas memelihara keseimbangan dan keberlangsungan alam. Dalam maqāṣid al-sharī‘ah, menjaga lingkungan hidup (ḥifẓ al-bī‘ah) sejajar pentingnya dengan menjaga jiwa manusia (ḥifẓ al-nafs). Kerusakan alam adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai syariat. Maka sudah seharusnya HMI sebagai entitas intelektual Islam mengambil posisi strategis dalam menanamkan kesadaran ekoteologis kepada kader dan umat.


Namun kenyataannya, sebagian besar aktivitas lingkungan di tubuh HMI masih bersifat seremonial: menanam pohon saat dies natalis, bersih pantai saat Milad, tanpa ada kelanjutan advokasi atau pemantauan. Kurikulum perkaderan formal LK I hingga LK III hampir tidak menyentuh isu lingkungan, apalagi menggali tafsir-tematik ekologis dalam Al-Qur’an. Tanpa transformasi kognitif dan struktural ini, HMI akan sulit tampil sebagai penggerak perubahan yang relevan.


Dari Simbolik ke Sistemik: Solusi Nyata

Lalu, apa yang bisa dilakukan?

Pertama, HMI Cabang Padang perlu membentuk Divisi Green Action sebagai unit permanen yang bertanggung jawab pada pendidikan dan advokasi lingkungan hidup. Kedua, materi tafsir ekologis seperti konsep mīzān (keseimbangan), fasād (kerusakan), dan ‘imāratul ardh (pemakmuran bumi) bisa diintegrasikan ke dalam kurikulum pengkaderan. Ketiga, HMI harus membangun kemitraan strategis dengan WALHI Sumbar, Eco-Padang, dan pemuda nagari untuk memperkuat gerakan ekologis berbasis komunitas.


Keempat, kader HMI bisa melakukan pemetaan titik-titik rawan ekologi—seperti Bukit Lampu yang terancam penggundulan, Batang Arau yang tercemar, dan kawasan Gunung Marapi yang rentan pembalakan liar. Terakhir, narasi Islam ramah lingkungan perlu digaungkan melalui media sosial oleh para kader, sehingga nilai Qur’ani tidak berhenti pada mimbar, tapi hidup di ruang publik digital.


Ujian Zaman untuk HMI

Jika bumi sedang sekarat, maka diamnya kaum intelektual adalah bagian dari pembiaran. Kota Padang dan Sumatera Barat secara umum tengah memberi tanda-tanda kelelahan ekologis yang tak bisa lagi diabaikan. Dalam situasi seperti ini, HMI tidak cukup hanya menjadi pengamat apalagi pelengkap agenda simbolik. Ia harus melangkah lebih jauh menjadi garda terdepan dalam memadukan keislaman dan keilmuan untuk merawat bumi.


Gerakan mahasiswa yang tidak menyentuh akar problematika lingkungan akan kehilangan makna strategisnya di era perubahan iklim. Justru di sinilah HMI diuji: apakah sanggup keluar dari zona nyaman retorika menuju laku nyata yang membebaskan? Bila HMI benar-benar berpihak pada umat, maka umat pertama yang harus diselamatkan hari ini adalah lingkungan yang menopang kehidupan mereka. Sebab menyelamatkan bumi adalah bagian dari menyelamatkan masa depan.


Tentang Penulis: Mulya Hidayat, Fungsionaris HMI Cabang Padang. Aktif dalam isu kepemudaan, advokasi lingkungan, dan penguatan narasi Islam progresif di Sumatera Barat.***


#HMI #KotaPadang #PeduliLingkungan #AdvokasiLingkungan

Post a Comment

أحدث أقدم