Fee 10–20 Persen Sudah Menjadi “Tradisi Gelap”, KPK Bongkar Dugaan Praktik Korupsi Dana Pokir di DPRD Sumbar

Gedung KPK (foto-dok ist)


Padang, integritasmedia.com - KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengungkap wajah buram politik daerah. Kali ini, sorotan tertuju pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Barat. Lembaga antirasuah itu menemukan adanya dugaan praktik koruptif yang mengakar dalam pengelolaan dana pokok-pokok pikiran (pokir) para wakil rakyat di Ranah Minang.


Temuan ini merupakan tindak lanjut dari permintaan resmi KPK kepada Gubernur Sumbar beberapa waktu lalu, terkait daftar alokasi dana pokir seluruh anggota DPRD. Dari hasil pendalaman, terkuak bahwa hampir seluruh anggota dewan menitipkan bahkan memaksakan rekanan atau penyedia jasa tertentu untuk menggarap proyek yang bersumber dari dana pokir mereka masing-masing.


“Yang tidak ikut bermain jumlahnya sangat kecil. Sebagian besar punya ‘orang kepercayaan’ sendiri untuk mengerjakan proyek,” ungkap seorang pejabat Pemprov Sumbar yang enggan disebut namanya.


Sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) mengaku berada dalam posisi sulit. Mereka kerap menerima tekanan langsung dari anggota dewan agar rekanan titipan bisa diloloskan. Bahkan, ada ancaman halus maupun terang-terangan yang membuat OPD tak berdaya.


“Kalau tidak diakomodasi, ada konsekuensi politik. Kami bisa kesulitan dalam pembahasan anggaran maupun kebijakan lain,” tutur salah seorang pejabat OPD dengan nada pasrah.


Kondisi ini membuat hubungan legislatif dan eksekutif tak lagi seimbang. Dewan, yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan, justru terindikasi menggunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.


KPK menyebut sudah mengantongi nama-nama anggota DPRD Sumbar yang paling ngotot dalam memaksakan rekanan bawaannya. Beberapa di antaranya berinisial MYA, STA, NZN, LD, MS, NST, dan MLS.


Menurut hasil penyelidikan, para anggota dewan tersebut diduga menerima fee atau komisi dari pihak rekanan dengan besaran 10 hingga 20 persen dari setiap nilai kegiatan. Pola ini diyakini sudah berlangsung lama, bahkan menjadi semacam “tradisi gelap” dalam pengelolaan pokir.


Skema fee ini masuk kategori gratifikasi dan jelas berpotensi sebagai tindak pidana korupsi. “Ada aliran dana yang diterima pribadi, bukan hanya sekadar dugaan, tapi sudah terkonfirmasi dari berbagai pihak,” kata sumber internal di KPK.


Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menegaskan lembaganya akan bergerak cepat. Ia menyatakan tak ada ruang kompromi bagi siapapun yang terlibat dalam praktik korupsi, baik di pusat maupun daerah.


“KPK tidak akan lelah menindak setiap bentuk praktik korupsi. Tak boleh ada yang lolos. Korupsi benar-benar telah merusak bangsa ini,” ujarnya lantang.


Senada, Ketua KPK Setyo Budiyanto menambahkan bahwa praktik korupsi terbukti menjadi penghambat utama pembangunan dan kemajuan daerah. Ia menilai, selain penindakan hukum, Indonesia mendesak membutuhkan instrumen baru, yakni UU Perampasan Aset, agar kerugian negara bisa dipulihkan.


“Korupsi tidak hanya terjadi di lembaga pusat, tapi juga telah merambah DPRD provinsi maupun kabupaten/kota. Tanpa langkah serius, kondisi ini akan terus berulang,” tegas Setyo.


Seorang tokoh masyarakat Sumbar yang meminta identitasnya dirahasiakan menyatakan bahwa praktik pungutan fee atas dana pokir memang sudah lama jadi rahasia umum. Besaran 10–20 persen, katanya, sudah menjadi angka yang “disepakati” tanpa tertulis.


“Kalau KPK sudah bicara, itu artinya memang ada bukti kuat. Siapapun yang terlibat harus siap menanggung resiko hukum. Tapi kami masyarakat biasa sering tak berdaya. Kritik yang disampaikan malah dianggap tendensius, seolah kami mengada-ada,” ucapnya dengan nada kecewa.


Dana pokok-pokok pikiran sejatinya ditujukan untuk menyalurkan aspirasi masyarakat yang dihimpun anggota dewan dari daerah pemilihannya. Idealnya, dana tersebut diarahkan untuk pembangunan infrastruktur kecil, pemberdayaan masyarakat, hingga peningkatan layanan publik.


Namun kenyataan di lapangan jauh berbeda. Alih-alih berpihak pada rakyat, dana pokir justru kerap dijadikan “ladang basah” bagi kepentingan pribadi. Proyek-proyeknya rawan dikendalikan, kualitas pekerjaan dipertanyakan, dan dampaknya minim bagi masyarakat.


Praktik ini bukan sekadar soal aliran fee. Lebih dari itu, ia mencerminkan krisis integritas dalam politik lokal. Anggota dewan yang semestinya mengawasi pemerintah justru ikut bermain proyek. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan: rakyat dirugikan, pembangunan tersendat, dan kepercayaan publik pada lembaga demokrasi makin merosot.


Kini, publik menunggu langkah konkret KPK. Apakah nama-nama yang sudah dikantongi hanya akan berhenti pada “inisial” atau benar-benar ditindak hingga ke meja hijau?


Satu hal pasti, mata masyarakat Sumatera Barat tengah menatap tajam. Mereka ingin bukti nyata bahwa hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu.(*)


#KPK #Korupsi #Pokir #DPRDSumbar #RekananTitipan #

Post a Comment

أحدث أقدم