Pertarungan Wacana pada Jilbab Tjut Meutia Kolumnis

OPINI » Pertarungan Wacana pada Jilbab Tjut Meutia
Kolumnis
Mahasiswa pascasarjana jurusan sejarah di Universitas Leiden, Belanda. Lahir dan besar di Banda Aceh.
Pertarungan Wacana pada Jilbab Tjut Meutia
Kolumnis: Raisa Kamila
21 Desember, 2016
dibaca normal 4 menit
5.7k Shares
Uang kertas seribu rupiah yang menampilkan gambar Tjut Meutia menuai protes. Mengapa Tjut Meutia tidak berkerudung?

Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia (BI), Suhaedi, mengaku pemilihan gambar pahlawan di lembaran uang kertas sudah dipertimbangkan dengan matang melalui diskusi dengan berbagai pihak, termasuk pihak keluarga. “Semua foto pahlawan, setelah diskusi panjang dengan berbagai pihak, kita mintakan persetujuan dan masukan dari ahli waris apabila ada yang lebih pas,” ujar Suhaedi kepada detikFinance, Rabu.

Tanggapan pihak BI itu tentu tidak menjawab pertanyaan apakah semasa hidupnya Tjut Meutia memakai kerudung dengan rapi seperti banyak perempuan Aceh hari ini. Sayangnya kita juga tak bisa melompat ke masa lalu dengan mesin waktu untuk mencari jawabannya. Sulit juga berharap keturunan Tjut Meutia --yang masih hidup hingga hari ini-- bisa mengingat secara utuh, juga meyakinkan, rupa nenek mereka yang hidup seabad lalu itu.

Meski teknologi fotografi sudah muncul di Aceh bersamaan dengan kedatangan Belanda pada 1874, tak ada arsip visual yang menunjukkan paras Tjut Meutia. Dalam buku Atjeh yang terbit pada 1938, seorang jurnalis Belanda,  H.C. Zentgraaff, mendeskripsikan Tjut Meutia sebagai perempuan cantik yang kerap memakai celana, pakaian tertutup yang dikaitkan perhiasan emas di dada, serta mahkota "ulee cemara" di rambutnya yang hitam pekat.

Deskripsi Zentgraaff bisa memberi sedikit petunjuk, tidak hanya tentang Tjut Meutia, namun juga bagaimana perempuan Aceh berpakaian dan merias dirinya di masa lalu. Perhiasan kepala seperti mahkota "ulee cemara" mengindikasikan bahwa rambut adalah bagian tubuh yang tak luput dari perhiasan. Sementara celana panjang dan baju tertutup menandakan bahwa perempuan Aceh pada masa itu relatif dapat bergerak leluasa, entah untuk menunggangi kuda atau bekerja di sawah dan ladang.

Deskripsi Zentgraaff sebenarnya tidak asing-asing amat. Jika merujuk pakaian tradisional perempuan Aceh yang dikenakan saat upacara pernikahan, gambaran Zentgraaff itu tidak melenceng-melenceng amat. Rambut mempelai perempuan juga masih terlihat alias tidak sepenuhnya tertutup kain.

Penulis bernama lengkap Henri Carel Zentgraaff ini sempat menjadi tentara dan antara 1895-1896 ia terlibat dalam Perang Aceh. Karier jurnalistiknya dimulai pada 1896 dengan menulis laporan tentang Teuku Umar dan beberapa babakan Perang Aceh.

Jika deskripsi penulis prolifik yang meninggal pada 1940 ini dianggap kurang memadai atau dicurigai pekat bias kolonial, sehingga karya-karyanya tentang Aceh dirasa tidak meyakinkan, maka melacak foto-foto perempuan Aceh pada masa tersebut menjadi salah satu opsi yang bisa dijajal.

Setelah kekalahan pada ekspedisi pertama pada 1873, pihak militer Belanda merasa perlu membawa tukang foto ke Aceh saat kembali sekitar enam bulan kemudian. Selain bekerja untuk dinas topografi Belanda, para tukang foto ini juga bekerja merekam proses penaklukan Aceh.

Dalam pengantar untuk pameran foto koleksi KITLV di Banda Aceh pada 2007, sejarawan Jean Gelman Taylor menyebutkan bahwa foto yang diproduksi selama Belanda berada di Aceh itu sebagian besar merekam pertempuran, pembangunan infrastruktur militer, makam raja-raja terdahulu serta para elit kesultanan dan keseharian di perkampungan.

Terlepas dari keinginan Belanda untuk menggambarkan Aceh sebagai wilayah yang penuh kekerasan, Jean Gelman Taylor lebih jauh menjelaskan bahwa foto-foto ini memungkinan kita memahami keadaan orang-orang di Aceh, termasuk perempuan, pada zaman itu.

Dari 1.053 arsip foto dengan kata kunci "Aceh" yang kini tersimpan dalam arsip digital KITLV, cukup banyak foto perempuan Aceh yang diambil dalam rentang 1873-1939. Beberapa foto menunjukkan perempuan dengan kepala tertutup dan penuh perhiasan yang tengah berpose di dalam studio, termasuk PoTjut Awan, ibu Panglima Polem. Kain yang menutupi kepalanya pun tidak seperti jilbab yang kita lihat hari ini: masih ada helai-helai rambut yang terlihat. Dua perempuan yang berdiri di sebelahnya bahkan tidak mengenakan penutup kepala.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama