Guspardi Gaus : Masyarakat Dipersilahkan Mengajukan Uji Materi Terhadap UU 17 Tahun 2022

"Setiap warga memiliki hak konstitusional untuk mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat, yang kini menjadi pro dan kontra, khususnya bagi warga Kepulauan Mentawai".


Padang, integritasmedia.com - LAHIRNYA Undang-undang No 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), yang mengatur tentang falsafah syariat Islam di Sumbar dan telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 25 Juli 2022 lulu, ternyata memantik kritikan dari berbagai elemen masyarakat Sumbar, karena salah satu poin yang diatur dalam UU ini adalah soal falsafah syariat Islam.


Seperti diketahui, falsafah tersebut diatur pada Pasal 5 huruf c, yakni "Adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi Syara', Syara' basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku".


Keberatan itu mengemuka saat diskusi yang sengaja digelar Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) perkumpulan perusahaan Media Online Indonesia (MOI) Provinsi Sumatera Barat, yang menghadirkan Anggota DPR-RI Komisi II Guspardi Gaus, Gubernur Sumbar diwakili Doni Rahmat Samulo, Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah dan tokoh masyarakat Mentawai.


Sementara itu Ketua DPRD Sumbar Supardi yang juga diundang dalam diskusi yang dilaksanakan jam 13.30 WIB di kantor Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar, Alai Parak Kopi, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang, Sabtu 6 Agustus 2022 tersebut, tak mengirimkan utusannya.


Tokoh Mentawai, seperti Conelleus, Armen dan Ridwan Zainal sama-sama menyatakan keberatan dengan Undang-Undang No 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat tersebut, terutama Pasal 5 huruf c, yakni "Adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi Syara', Syara' basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku".


Padahal kata mereka, Kabupaten Kepulauan Mentawai termasuk dalam salah satu dari 19 kabupaten dan kota yang dimiliki Provinsi Sumbar.


Oleh karena itu baik Conelleus, Armen dan Ridwan Zainal meminta pada DPR dan pemerintah melalui Anggota DPR-RI Komisi II Guspardi Gaus untuk menerima nota protes masyarakat Mentawai sebagai referensi penting dalam proses legislasi.


“Seharusnya prinsip partisipasi masyarakat perlu menjadi pertimbangan dalam proses legislasi nasional. Jangan sampai ada yang merasa tidak diajak bicara terutama dalam pembahasan kebangsaan yang cukup sensitif seperti ini,” kata Armen pada Guspardi Gaus.


Ia pun mengatakan masyarakat adat Mentawai merasa diabaikan dengan ketentuan dalam UU Sumbar yang baru.


“Tentu hal semacam ini tidak boleh diabaikan agar tidak menjadi polemik di level daerah dalam jangka panjang,” tegas Armen.


Sementara itu Guspardi Gaus mengatakan, langkah memasukkan nilai falsafah itu ke dalam UU Provinsi Sumbar sesuai dengan kesepakatan pemerintah dan Komisi II DPR, di mana perubahan regulasi tidak boleh terkait perubahan nama provinsi hingga menuntut status daerah istimewa.


“Soal adat dan budaya Minangkabau didasari pada nilai falsafah dengan karakter religius di undang-undang baru yang mengatur Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) pengganti UU Nomor 61 tahun 1958,” ujar Guspardi Gaus.


Ia menegaskan bahwa dalam UU Provinsi Sumbar yang baru disahkan dijelaskan adat dan budaya Minangkabau didasari pada nilai falsafah dengan karakter religius. Serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat.


Menurut Guspari nilai falsafah adat basandi syara', syara' basandi kitabullah merupakan kekhasan Sumbar. Ia menepis masuknya nilai falsafah itu akan membuat Sumbar menjadi sebuah daerah istimewa atau khusus seperti Aceh ataupun provinsi di Indonesia lainnya.


Pada kesempatan itu Guspardi Gaus menceritakan, permintaan agar Sumbar menjadi daerah khusus sebenarnya pernah disampaikan oleh seorang sosiolog, Mochtar Naim sebelum pembahasan perubahan UU Provinsi Sumbar di Komisi II DPR-RI.


Namun kata Guspardi, ia dengan tegas menolaknya, salah satu alasan karena orang Sumatera Barat bukan orang Minangkabau semuanya, seperti ada orang Mentawai yang berbeda adat dan budayanya, dimana menganut garis keturunan patrilinial.


Kendati demikian kata Guspardi Gaus setiap warga memiliki hak konstitusional untuk mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat, yang kini menjadi pro dan kontra, khususnya bagi warga Kepulauan Mentawai.


Menurut Guspardi uji materi merupakan hak dari masyarakat dan dijamin oleh undang-undang, jadi tidak masalah, silahkan saja ajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tersebut.


“Secara umum uji materi merupakan wadah untuk melakukan pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma hukum,” kata kata anggota DPR RI asal Sumbar tersebut.


Sementara itu Gubernur Sumbar diwakili Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Doni Rahmat Samulo mengatakan, Pemerintah Provinsi Sumbar sifatnya hanya menerima Undang-Undang No 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat yang telah diputuskan tersebut.


“Saat ini kita di Pemprov Sumbar memikirkan, setelah UU itu ada, selanjutnya apa yang akan kita lakukan. Sebab, bila tidak disikapi UU yang telah dibuat tersebut, akhirnya akan sekedar menjadi UU saja,” kata Doni.


Ia juga mengaku, dengan keluarnya Nomor 17 Tahun 2022 tersebut, Pemerintah Provinsi Sumbar tidak pernah terpikir daerahnya akan menjadi daerah syariat kedua setelah Aceh. “Jadi tak perlu dibesar-besarkan,” katanya.


Doni juga mengatakan, jangan sampai dikhawatirkan UU Nomor 17 Tahun 2022 tersebut menjadi ancaman bagi kaum minoritas yang ada di Sumbar.(ff)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama