PERJANJIAN PERKAWINAN SEBAGAI SARANA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK


Oleh : Salma Marjoni, SH

Email : salmamarjoni21@gmail.com


Masiswa Magister Kenotariatan

FH UNAND


Suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang Bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.


Perkawinan sebagai perbuatan hukum yang mana suatu perbuatan yang mengandung hak dan kewajiban bagi individu-individu yang melakukannya. Seorang pria dengan seorang wanita setelah melakukan perkawinan akan menimbulkan akibat-akibat hukum yaitu antara lain mengenai hubungan hukum antara suami istri dan mengenai harta benda perkawinan serta penghasilan mereka. (Wahyono Darmabrata,2009).


Dalam perjanjian perkawinan masih awam penerapannya di Indonesia, masih banyak Masyarakat menilai bahwa perjanjian ini merupakan hal tabu. Hanya sedikit darinya yang mengetahui pentingnya membuat perjanjian pra nikah secara tertulis. Padahal, perjanjian ini sebenarnya untuk melindungi kita dari tuntutan yang bisa saja terjadi kepada siapa saja kemungkinan buruk tersebut, tingkatan perceraian meningkat yang membuat beberapa orang menjadi trust issue.


Seiring dengan perkembangan zaman apalagi di era generasi-Z, masyarakat lebih kritis dalam persoalan harta kekayaan. Generasi sekarang sudah mempunyai banyak pertimbangan dalam hal melakukan penghitungan terkait keuntungan dan kerugian materi yang akan diperolehnya akibat dilakukannya pernikahan. Perkembangan gerakan emansipasi wanita juga salah satu faktor dalam mempengaruhi pola pikir manusia terhadap harta kekayaan. Pada saat ini banyak calon suami istri yang menginginkan perkawinan mereka mempunyai perjanjian perkawinan. 


Sebagian pihak lain menilai perjanjian perkawinan tidak cocok digunakan di Indonesia yang mempunyai budaya ketimuran. Akan tetapi perjanjian perkawinan tidak dapat dipandang sebelah mata dari sisi negatifnya saja. Walaupun tidak dapat dipungkiri pula bahwa kekaburan norma (vague of norm) dalam beberapa sisi hukum perkawinan, misalnya Kekaburan peraturan (vague of norm) mengenai sahnya perkawinan dan mengenai waktu dibuatnya perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan, membuat beberapa pihak yang tidak beriktikad baik untuk menyalahi aturan-aturan dalam hukum perkawinan. Atas dasar alasan alasan tersebut maka penulis tertarik membahas Perjanjian Perkawinan Sebagai Sarana Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perkawinan. 


Perjanjian Perkawinan atau sering disebut dengan perjanjian pra nikah tersebut dikenal dalam KUHPerdata maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan suatu perjanjian yang dibuat oleh sepasang calon suami istri dihadapan notaris yang menyatakan bahwa mereka telah sepakat untuk membuat pemisahan atas harta benda mereka masing-masing dalam perkawinan mereka kelak, maka setelah dibuatnya perjanjian tersebut maka semua harta baik yang diperoleh sebelum maupun selama berlangsungnya perkawinan kelak adalah hak dan tetap menjadi milik mereka masing-masing, demikian pula dengan hutang-piutang dari masing-masing pihak teresebut kan tetap menjadi hak dan tanggungjawab dari masing-masing pihak yang memiliki hutang piutang tersebut.


Ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini tidak mengatur mengenai pembuatan perjanjian perkawinan setelah kawin dilangsungkan. Ketentuan dalam Pasal 29 Undang-Undang tersebut yang pada intinya hanya mengatur mengenai perjanjian perkawinan yang dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, Namun Dalam perkembangannya, perjanjian perkawinan ini tidak hanya dilakukan sebelum perkawinan, tapi boleh dibuat selama masih terikat perkawinan yang sah. Hal ini sebagaimana termuat dalam Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 terkait tafsir Pasal 29 ayat (1),  (3), (4) UU Perkawinan.


Oleh karena itu berdasarkan penjelasan tersebut Putusan MK juga mengikat bagi Notaris selaku yang memiliki wewenang (pejabat) dalam pembuat akta perjanjian perkawinan dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau Kantor Urusan Agama (KUA) selaku pejabat yang memiliki wewenang untuk mencatatkan akta perjanjian perkawinan tersebut. perjanjian perkawinan yang lazim disepakati antara lain berisi: (Anita D.A. Kolopaking.2022)

1. Harta bawaan dalam perkawinan, baik harta yang diperoleh dari usaha masing-masing maupun dari hibah, warisan ataupun cuma-cuma yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.

2. Semua hutang yang dibawa oleh suami atau istri dalam perkawinan mereka yang dibuat oleh mereka selama perkawinan tetap akan menjadi tanggungan suami atau istri.

3. Istri akan mengurus harta pribadinya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak dan dengan tugas memungut (menikmati) hasil dan pendapatan baik hartanya itu maupun pekerjaannya atau sumber lain.

4. Untuk mengurus hartanya itu, istri tidak memerlukan bantuan atau kuasa dari suami.

5. dan lain sebagainya.


Tujuan utama sebagai sarana perlindungan hukum bagi kedua belah pihak yaitu yang Pertama; Membangun kepastian hukum, perjanjian perkawinan memberikan kepastian hukum terkait dengan hak dan kewajiban finansial serta aset yang dimiliki oleh masing-masing pasangan. Dengan merinci pembagian harta bersama, tanggung jawab finansial, dan isu-isu lainnya, perjanjian ini dapat mengurangi ketidakpastian dan potensi konflik di masa depan. Kedua; Perlindungan aset pribadi, Salah satu fungsi utama perjanjian perkawinan adalah melindungi aset pribadi yang dimiliki sebelum pernikahan. Jika salah satu pasangan memiliki harta benda atau usaha sendiri sebelum menikah, perjanjian ini dapat memastikan bahwa aset tersebut tetap menjadi milik pribadi pasangan tersebut, tidak terpengaruh oleh pembagian harta bersama. Ketiga; Menetapkan pembagian harta bersama, perjanjian perkawinan dapat merinci pembagian harta bersama dalam pernikahan, termasuk harta yang diperoleh selama pernikahan. Hal ini dapat menghindari perselisihan di masa depan terkait pembagian aset, terutama jika terjadi perceraian. Keempat; Mengatur tanggung jawab finansial, Pasangan dapat menggunakan perjanjian perkawinan untuk mengatur tanggung jawab finansial mereka, termasuk pembagian biaya hidup, pendidikan anak, dan tanggung jawab keuangan lainnya. Hal ini membantu mencegah ketidaksetujuan dan konflik di masa depan terkait masalah keuangan. Kelima; Menghadapi kemungkinan perceraian, Meskipun tidak menyenangkan untuk dipikirkan, perjanjian perkawinan dapat menjadi alat yang efektif untuk mengelola kemungkinan perceraian. Dengan merinci persyaratan pembagian harta dan tanggung jawab finansial di awal pernikahan, pasangan dapat mengurangi potensi pertikaian dan memudahkan proses perceraian jika itu terjadi. 


Untuk mendapatkan pengesahan dan memperkuat kedudukan hukum dari perjanjian tersebut, dapat membawa perjanjian pranikah tersebut ke notaris guna disahkan secara hukum. Nantinya notaris akan menyusun perjanjian tersebut sesuai dengan apa yang telah dituliskan dan menjadi kesepakatan dua belah pihak. Sebelum disahkan menjadi akta, masih dapat merubah perjanjian pranikah tersebut. Perjanjian perkawinan bukan hanya tentang merencanakan perceraian, tetapi lebih merupakan langkah preventif untuk membangun keadilan, kepastian, dan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak. Dengan memahami pentingnya perjanjian ini, pasangan dapat menjaga keharmonisan pernikahan mereka sambil menciptakan kerangka hukum yang adil dan jelas untuk masa depan mereka bersama.(***)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama