TINJAUAN YURIDIS KEABSAHAN SENGKETA PERJANJIAN JUAL BELI ATAS TANAH HAK MILIK


Oleh : Della Vintha Aria, SH

Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Univesitas Andalas

Dellavinthaaria@gmail.com


ABSTRAK 

Sengketa adalah pertentangan-pertentangan yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang memiliki hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu obyek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui tinjauan yuridis keabsahan sengketa perjanjian jual beli atas tanah hak milik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif melalui studi literatur atau kajian teori. Hasil dari penelitian ini adalah Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua metode yaitu metode litigasi dan metode non-litigasi. Upaya penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan oleh para pihak adalah melakukan pembatalan perjanjian pengikatan jual beli dengan cara mediasi non litigasi. Pertimbangan paling kuat dalam memilih metode penyelesaian sengketa melalui mediasi yaitu berdasarkan budaya hukum, mediasi merupakan cara yang paling tepat dengan budaya hukum yang ada di pihak yang bersengketa. 

Kata Kunci: Sangketa, jual beli, tanah, keabsahan. 


ABSTRACT 

Disputes are conflicts that occur between individuals or groups who have the same relationship or interest in an object of ownership, which give rise to legal consequences for one another. The aim of this research is to determine the juridical review of the validity of sale and purchase agreement disputes over freehold land. The method used in this research is quantitative research through literature study or theoretical study. The results of this research are that dispute resolution can be done through two methods, namely the litigation method and the non-litigation method. Efforts to resolve disputes that can be carried out by the parties are to cancel the sale and purchase binding agreement by means of non-litigation mediation. The strongest consideration in choosing a dispute resolution method through mediation is based on legal culture, mediation is the most appropriate method given the legal culture of the disputing parties. 

Keywords: dispute, buying and selling, land, validity.


PENDAHULUAN 

Tanah adalah tempat pemukiman dari umat manusia di samping sebagai sumber penghidupan bagi mereka yang mencari nafkah melalui pertanian serta pada akhirnya tanah pulalah yang dijadikan tempat persemayaman terakhir bagi seorang yang meninggal dunia. Oleh karena itu, bertambah lama dirasakan selolah-olah tanah menjadi sempit, sedangkan permintaan selalu bertambah. Maka tidak heran kalaunilai tanah jadi meningkat tinggi. Tanah sanggat mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia dan bagi suatu negara dapat dibuktikan dengan adanya aturan secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) bahwa “Bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemamuran rakyat”. 

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonelsia Tahun 1945 tersebut kemudian menjadi landasan filosofis terhadap pengaturan tanah di Indonesia yang secara yuridis diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peratutan Dasar Pokok Agraria yang kemudian dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Tujuan UUPA adalah agar menjamin kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah di seluruh wilayah di Indonesia dapat diwujudkan. Munculnya sengketa hukum berawal dari adanya keberatan suatu tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupuln kepemilikannya dengan satu tujuan yaitu mendapatkan penyelesaian administrasi sesuai dengan ketentuan yang beraku. 

Tanah sangat erat sekali hubungannya dengan kehidupan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah bahkan bukan hanya dalam kehidupannya, untuk mati pun manusia masih memerlukan selbidang tanah. Saat ini, untuk memperoleh tanah dapat diperoleh dengan beberapa cara, yaitu dengan permohonan hak maupun pemindahan hak. Dalam masyarakat kita, perolehan hak atas tanah lebih sering dilakukan dengan pemindahan hak, yaitu dengan melalui jual beli. Pemindahan hak/Peralihan hak adalah sulatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak, antara lain: Jual beli, Hibah, Tukar menukar, Pemisahan dan pembagian harta bersama dan pemasukan dalam perusahaan.

Syarat jual beli tanah ada dua, yaitu syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut, setelah terpenuhinya syarat materiil maka PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) akan membulat akta jual bellinya. Dalam Yulrispruldelnsi MA No. 123/K/Sip/1971, pendaftaran hanya lah perbuatan administrasi belaka, artinya bahwa pendaftaran bukan melrulpakan syarat bagi sahnya atau menentukan saat berpindahnya hak atas tanah dalam jual beli (Adrian. 2013). 

Jual beli dalam pengertian sehari-hari dapat diartikan, di mana seseorang melepaskan uang untuk mendapatkan barang yang dikehendaki secara sukarela. Menurult Boedi Harsono, “Dalam Hukum Adat perbuatan pemindahan hak (jual–beli, hibah, tukar menukar) merupakan perbuatan hukum yang bersifat tunai”. Jual–beli dalam hukum tanah dengan pembayaran harganya pada saat yang bersamaan secara tunai. 

Jual beli dilakukan antara pemilik tanah dan calon pembeli, tentunya sudah dicapai kata sepakat mengenai akan dilakukannya jual beli itu: tanah mana yang akan dijual dan berapa harganya, bilamana jual belinya akan dilakukan. Kata sepakat itumenimbulkan perjanjian, yang kiranya dapat disebut perjanjian akan (melakukan) jual beli (Effendi. 1991). Jual beli tanah menurut Hukum Adat merupakan perbuatan pemindahan hak, yang sifatnya tunai, riil dan terang. Sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak dihadapkan PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan diberlakukannya jual beli di hadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). 

Permasalahan mengenai sengketa tanah bukanlah merupakan hal yang baru di Indonesia. Masalah perebutan lahan telah terjadi antara kelompok masyarakat sejak jaman kolonial dimana terjadi berbagai peristiwa peselisihan pertanahan dan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Para pihak yang terkait dan berwenang menangani permasalahan sengketa tanah tersebut pasti memiliki berbagai cara yang berbeda untuk menyelesaikannya.


METODE PENELITIAN 

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu tinjauan pustaka yang bertujuan untuk mendeskripsikan temuan peneliti pada beberapa artikel yang diterbitkan di jurnal. Sugiyono (2013) menjelaskan bahwa metode penelitian kualitatif dengan rencana analisis deskriptif dilakukan secara intensif, dilakukan analisis refleksif terhadap berbagai dokumen relevan, dan disusun laporan penelitian secara rinci. Tinjauan pustaka ini dilakukan dengan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan terus berkembang seiring dengan perubahan dan kemajuan seiring berjalannya waktu. Dalam hal ini melakukan penelitian sastra berarti memperkaya pengetahuan penulis terhadap pokok bahasannya. Referensi teoritis yang diperoleh selama pencarian literatur digunakan sebagai landasan dasar dan alat utama dalam praktek penelitian di lapangan. Jenis sumber data atau objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah artikel ilmiah pada jurnal. Proses pengumpulan data dari artikel jurnal melipulti akses jurnal pendidikan, Googel Trends, dan Googe Scholar. 


PEMBAHASAN 

Ahli hukum yang Adrian Sultedi mengemukakan bahwa jual beli tanah menurut hukum merupakan pemindahan hak yang mana sifatnya adalah tunai, rill dan juga terang. Sifat tunai mengandung makna bahwa penyerahan hak dan pembayaran terhadap tanah tersebut dilakukan pada waktu yang sama. Sifat rill mengandung makna bahwa jual beli belum dikatakan terjadi jika hanya mengucapkan kata-kata saja, tetapi jual beli baru dapat dianggap telah terjadi jika dilakukan oleh para pihak dihadapkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bertugas dalam membuat aktanya (ketentuan ini berlaku sejak diberlakukan PP Nomor 24 Tahuln 1997 tentang pendaftaran tanah). Ketika jual beli dilakukan dihadapkan PPAT, maka syarat terang dalam jual beli sudah terpenuhi, karena perbuatan tersebut sudah dinilai bukan perbuatan hukum yang gelap atau dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Adapun yang meliputi syarat materiil ialah (Ayul. 2020).


a.Pembeli adalah pihak yang memang berhak untuk membeli tanah bersangkutan. 

Makna dari syarat ini ialah, pembeli sebagai penerima hak haruslah pihak-pihak yang memang berhak untuk melakukan transaksi jual beli. Untuk menentukan apakah seseorang berhak atau tidak untuk memperoleh hak atas tanah, hal tersebut juga tergantung pada hak yang ada pada tanah tersebut, apakah hak pakai, hak guna bangunan ataukah hak milik. Syarat ini menjadi syarat yang sangat penting jika objek tanah yang diperjualbelikan adalah tanah hak milik, hal tersebult karena sesuai dengan yang diamanatkan pada pasal 21 UUPA yang menerangkan bahwa hanya WNI serta badan-badan hukum yang ditetapkan pemerintah saja yang diperbolehkan untuk memiliki hak milik atas tanah di Indonelsia. Artinya, pembeli dalam perbuatan hukum jual beli tanah khususnya tanah dengan hak milik tidak diperbolehkan untuk warga negara asing. Jika ketentuan dalam pasal 21 UUPA tersebult tidak diindahkan dan terjadi perbuatan hukulm jual beli tanah dengan WNA sebagai pembeli, maka sesuai dengan UlUlPA Pasal 26, jual beli tersebut dinyatakan batal demi hukum, sedangkan tanah yang bersangkutan akan jatuh kepada negara. 

b.Penjual adalah pihak yang memang berhak untuk menjual tanah bersangkutan 


Syarat ini menyatakan bahwa yang berhak untuk menjual suatu bidang tanah hanya pemegang hak yang sah atas tanah tersebult atau si pemilik. Jika pemilik hanya satu orang, maka ia memiliki hak untuk menjual sendiri tanah tersebult. Tetapi, jika pemilik tanah lebih dari satu orang, yang berhak menjual tanah tersebut adalah semua pemilik secara bersama-sama dan tidak dibenarkan jika salah satu pemilik bertindak sebagai penjual dengan sendirian 

c.Tanah yang bersangkutan memang boleh diperjualbelikan dan tidak dalam sengkelta. 


Tanah yang boleh diperjuabelikan menurut hukum ialah tanah dengan hak milik (diatur dalam pasal 20 UUPA), hak guna usaha diatur dalam pasal 28, hak guna bangunan dalam pasal 35 dan jullga hak pakai diatur dalam pasal 41. Selain itu, syarat berikutnya adalah tanah yang diperjualbelikan tidak dalam sengketa, 

a.Pembeli adalah pihak yang memang belrhak untuk membeli tanah bersangkutan. 

Makna dari syarat ini ialah, pembeli sebagai penerima hak haruslah pihak-pihak yang memang berhak untuk melakukan transaksi jual beli. Untuk menentukan apakah seseorang berhak atau tidak untuk memperoleh hak atas tanah, hal tersebut juga tergantung pada hak yang ada pada tanah tersebut, apakah hak pakai, hak guna bangunan ataukah hak milik. Syarat ini menjadi syarat yang sangat penting jika objek tanah yang diperjualbelikan adalah tanah hak milik, hal tersebut karena sesuai dengan yang diamanatkan pada pasal 21 UUPA yang menerangkan bahwa hanya WNI serta badan-badan hukum yang ditetapkan pemerintah saja yang diperbolehkan untuk memiliki hak milik atas tanah di Indonelsia. Artinya, pembeli dalam perbuatan hukum jual bellli tanah khususnya tanah dengan hak milik tidak diperbolehkan untuk warga negara asing. Jika ketentuan dalam pasal 21 UUPA tersebut tidak diindahkan dan terjadi perbuatan hukum jual beli tanah dengan WNA sebagai pembeli, maka sesuai dengan UUPA Pasal 26, jual beli tersebut dinyatakan batal demi hukum, sedangkan tanah yang bersangkutan akan jatuh kepada negara. 

b.Penjulal adalah pihak yang memang belrhak untuk menjual tanah bersangkutan 


Syarat ini menyatakan bahwa yang berhak untuk menjual suatu bidang tanah hanya pemegang hak yang sah atas tanah tersebut atausi pemilik. Jika pemilik hanya satu orang, maka ia memiliki hak untuk menjual sendiri tanah tersebult. Tetapi, jika pemilik tanah lebih dari satu orang, yang berhak menjual tanah tersebut adalah semua pemilik secara bersama-sama dan tidak dibenarkan jika salah satu pemilik bertindak sebagai penjual dengan sendirian 

c.Tanah yang bersangkutan memang boleh diperjua belikan dan tidak dalam sengketa. 


Tanah yang boleh diperjual belikan menurut hukum ialah tanah dengan hak milik (diatur dalam pasal 20 UUPA), hak guna usaha diatur dalam pasal 28, hak guna bangunan dalam pasal 35 dan juga hak pakai diatur dalam pasal 41. Selain itu, syarat berikutnya adalah tanah yang diperjualbelikan tidak dalam sengketa,


3)Ketiga, tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak sedang dalam sengketa. Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjualbelikan telah ditentukan dalam Undang-Undang Pokok Agraria yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai. Jika salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi, dalam arti penjulal bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang dijualnya. 

Penjual berhak dan berwenang menjual hak atas tanah. Yang berhak menjual adalah orang yang namanya tercantum dalam sertifikat atau selain sertifikat. Seseorang berwenang menjual tanahnya kalau dia sudah dewasa. Kalau penjualnya dalam pengampulan, maka dia diwakili olelh pengampulnya. Kalau penjualnya diwakili oleh orang lain sebagai penerima kuasa, maka penerima kuasa menunjukkan surat kuasa notaris. 

b)Syarat Formil 

Syarat jual beli harus dibuktikan dengan akta PPAT ditegaskan dalam Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melaluli jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Syarat formil dalam jual beli hak atas tanah tidak mutlak harus dibuktikan dengan akta PPAT, tetapi kepada Kepaa Kantor Pertanahan Kabupateln/Kota dapat mendaftarkan peralihan haknya meskipun tidak dibuktikan dengan akta PPAT. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 37 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Dalam peraturan tersebut menyebut sebagaimana yang ditentukan oleh menteri, kepala pertanahan dapat mendaftarkan pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, yang dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut kepala kantor pertanahan tersebult kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftarkan pemindahan Atas dasar ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menunjukkan bahwa untuk kepentingan pendaftaran peralihan hak kepada kantor pertanahan kabupateln/kota, jual belli hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta PPAT. 

Keabsahan Jual Beli Tanah Pada Tanah 

Dari pembahasan sebelumnya yang berkaitan dengan pengaturan jual beli tanah dan peralihan hak atas tanah dengan jual beli pada tanah dapat diketahuli bahwa jual beli pada tanah yang belum bersertifikat tetap dapat dilakukan dan sah menurut hukum jika telah terpenuhi syarat dalam jual beli tanah, yakni meliputi syarat tunai, rill, terang, dan juga syarat materiil dan syarat formal. Jullal beli pada tanah yang belum bersertifikat tetap dapat dilakukan jika penjual dapat menunjukkan bukti-bukti yang membenarkan bahwa atas tanah yang bersangkutan memang benar adalah miliknya. Untuk jual beli pada tanah pada saat transaksi jual belinya lebih baik diakulkan dihadapkan PPAT sehingga PPAT akan membuatkan akta jual beli yang dapat menjamin dan memberikan kepastian hukum terkait peralihan hak atas tanah tersebut. Pada saat penandatanganan akta jual beli diantara penjual dan pembeli yang dilakukan dihadapkan PPAT, terlebih dahulu blanko tersebut akan diisi dengan nama PPAT yang bersangkutan dan juga dengan saksi-saksi dari PPAT. Kemudian, akta tersebut akan dibacakan oleh PPAT kepada para pihak agar para pihak mengerti dan mengetahuli isi dalam akta jual beli tersebut. Jika para pihak telah mengerti, maka selanjutnya akan dilakukan penandatanganan. Dengan demikian, peralihan hak atas tanah dengan jual beli pada tanah yang belum bersertifikat memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanah yang sudah bersertifikat. 

Sehingga secara kesimpulan, tanah yang dapat diperjual belikan sepanjang syarat-syarat dalam jual beli tanah telah terpenuhi, hanya saja setelah dilakukan penandatanganan akta jual beli, pembeli tidak langsung memperoleh sertifikat hak milik atas namanya, karena atas objek tanah tersebult harus diajukan permohonan konversi terlebih dahulu ke Badan Pertanahan Nasional, setelah tanah tersebult terdaftar di Badan Pertanahan atau memiliki sertifikat atas nama penjual terlebih dahulu, barulah proses pendaftaran (balik nama) menjadi atas nama pembeli dapat dilakukan yakni dengan menggunakan akta jual beli yang telah dilakukan di hadapan PPAT.


KESIMPULAN 

1.Dalam jual-beli tanah yang dilakukan tanpa akta Pejabat Pembulat Akta Tanah merupakan jual-beli yang sah asalkan memenuhi Pasal 1338 dan Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukulm Perdata, permasalahan yang dihadapi hanya soal pembuktian di dalam persidangan nanti. 

2.Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melaluli dua metode yaitu metodelitigasi dan meltodelnon-litigasi. Upaya penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan oleh para pihak adalah melakulkan pembatalan perjanjian pengikatan jual beli dengan cara mediasi non litigasi. Pertimbangan paling kuat dalam memilih metode penyelesaian sengketa melalui mediasi yaitu berdasarkan budaya hukum, mediasi merupakan cara yang paling tepat dengan budaya hukum yang ada di pihak yang bersengketa. 


DAFTAR PUSTAKA 

Adrian, Sutedi. 2013. Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Sinar Grafika. Jakarta. 

Ayu Larasati. 2020. “Peralihan Hak Atas Tanah Dengan Perjanjian Jual Beli Menurut Hukum Pertanahan Indonesia” Journal of Civil and Business Law, Vol 1 No 1. 

Effendi, Perangin. 1991. Hukum Agraria di Indonesia. Rajawali. Jakarta. 

Sugiyono, 2013, Metodelogi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D. Bandung: ALFABETA. 

Putra, I. M. H., 2019. Jual Beli Hak Milik Atas Tanah Yang Belum Bersertifikat. Jurnal Anaogi Hukum, 1(3), pp. 372-376. 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wet Boek) 

Peratran Pemerintah Republik Indoesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama