KEDUDUKAN HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT DALAM PERKAWINAN CAMPURAN TERHADAP HAK MILIK ATAS TANAH

LEGAL POSITION OF MARRIAGE AGREEMENTS MADE IN MIXED MARRIAGES REGARDING LAND OWNERSHIP RIGHTS



Oleh :

Inneke Maharani Rizki Mulyanda, S.H

Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Andalas

Email : im.rizkimulyandalubis@gmail.com



ABSTRACT

This research aims to find the legal position of marriage agreements made in mixed marriages regarding land ownership rights. This type of research is normative legal research. Based on the results of this research, it is known that the legal position of marriage agreements made in mixed marriages regarding property rights to land, namely the substance of the Marriage Agreement, contains matters relating to the contents of the marriage agreement, namely regarding: Separation of assets. Wealth. Proof of ownership. Rights and obligations of the parties. Expenses for household needs. Ending/ Calculation according to law and domicile. These arrangements can be differentiated into groups, there are several conditions that must be fulfilled, namely conditions regarding the individual. requirements for how to make a deed from the entry into force of the marriage agreement. and conditions regarding the contents of the marriage agreement.

Keywords: Marriage, Property Rights, Agreement.


ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan kedudukan hukum perjanjian perkawinan yang dibuat dalam perkawinan campuran terhadap hak milik atas tanah. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa Kedudukan hukum perjanjian perkawinan yang dibuat dalam perkawinan campuran terhadap hak milik atas tanah yaitu substansi dalam Perjanjian Kawin memuat hal-hal yang berkaitan dengan isi dari perjanjian kawin yaitu tentang: Pemisahan harta. Harta kekayaan. Bukti kepemilikan. Hak dan kewajiban para pihak.Biaya-Biaya untuk keperluan rumah tangga. Berakhir/ Perhitungan menurut hukum dan domisili. Pengaturan tersebut dapat dibedakan dalam kelompok-kelompok, adapun beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu syarat-syarat yang mengenai diri pribadi. syarat-syarat cara pembuatan akta dari mulai berlakunya perjanjian kawin. dan syarat-syarat mengenai isi perjanjian kawin.

Kata Kunci : Perkawinan, Hak milik, Perjanjian.


A. Latar Belakang

Salah satu bentuk hubungan antara individu dalam masyarakat adalah hubungan antara seorang perempuan dan seorang laki-laki yang melakukan perkawinan. Sebagai salah satu hubungan interaksi antar individu dalam masyarakat pada suatu negara, maka hubungan yang demikian harus diberikan pengaturan secara tegas oleh negara berdasarkan hukum positif yang berlaku.  Adanya pengaturan yang demikian adalah penting sebagai upaya menjamin ketertiban dan kepastian hukum, sekaligus konsekuensi logis suatu negara hukum. Aturan-aturan hukum dibutuhkan untuk menyelaraskan dan mengatur adanya interaksi yang terjadi dalam masyarakat.

Hukum perkawinan di Indonesia sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, menganut beberapa sistem hukum yang diberlakukan. Berbagai macam hukum perkawinan yang dimaksud antara lain: hukum adat bagi masyarakt asli Indonesia; hukum islam bagi masyarakat asli Indonesia yang beragama Islam, Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bagi keturunan eropa dan cina (dengan beberapa pengecualian); Ordonnantie Christen Indonesiaers atau HOCI bagi orang asli (jawa, minahasa, ambon) yang beragama kristen; dan Regeling od de gemengde Huwelijks atau peraturan perkawinan campuran. 

Tujuan Perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang tentang perkawinan, pada intinya adalah untuk membangun keluarga atau keluarga bahagia yang langgeng berdasarkan satu ketuhanan. Pasal 2 UU Perkawinan mengatur dua hukum yang harus ditaati untuk melangsungkan perkawinan. Ayat (1) dengan jelas dan tegas mengatur keabsahan perkawinan, yang menyatakan bahwa satu-satunya syarat sahnya perkawinan adalah perkawinan itu dilakukan menurut ajaran agama dari orang yang akan dinikahi. Yang dimaksud dengan hak setiap agama dan kepercayaan termasuk ketentuan undang-undang yang berlaku bagi kelompok agama dan kepercayaan tersebut, ketentuan undang-undang yang berlaku bagi kelompok agama dan kepercayaan tersebut, kecuali bertentangan dengan Undang-undang ini atau ditentukan lain dalam Undang-undang. Adapun syarat syarat Perkawinan seperti disebutkan pada Pasal 6 UndangUndang Perkawinan: (1) Perkawinan harus di dasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2) Untuk melangsung kan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua oang tua. (3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya.

Perkawinan campuran khususnya di Indonesia erat kaitannya dengan pengaturan masalah harta bersama kepemilikan hak atas tanah di Indonesia. Seorang perempuan Warga Negara Indonesia (WNI) apabila menikah dengan Warga Negara Asing (WNA) tidak akan bisa membeli tanah dengan hak milik dan rumah atas namanya sendiri karena dengan terjadinya pernikahan dengan warga negara asing yang berarti terjadi pencampuran harta dengan warga negara asing, Oleh karena itu hal ini tidak dimungkinkan secara hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Perkawinana yang mengatakan bahwa: Orang asing yang memperoleh hak milik karena pewarisan atau percampuran harta karena perkawinan atau orang WNI yang kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak milik yang diperolehnya tersebut dalam jangka waktu satu tahun. Jika tidak maka hak tersebut akan hapus demi hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.

Tidak dibentuknya perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran memiliki konsekuensi dan masalah tersendiri yang berkaitan dengan hak warga negara indonesia untuk memiliki hak milik atas tanah, konsekuensi ini dirasa bertentangan dengan hak warga negara Indonesia untuk dapat memiliki hak milik atas tanah yang telah dinyatakan dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Perkawinana dan telah dijamin oleh UUD 1945 dan Undang- undang HAM. serta dirasakan merugikan bagi warga negara Indonesia yang melakukan perkawinan dengan warga negara asing tanpa membuat perjanjian perkawinan terlebih dahulu. Melalui proses judicial review terhadap Pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 karena melanggar Hak Asasi Manusia, diharapkan akan menjadi jalan keluar bagi suami istri yang sebelumnya tidak melakukan perjanjian perkawinan.

Akhirnya pada 27 Oktober 2015 keluar Putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan hal tersebut dengan nomor registrasi 69/PUU/XIII/2015 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUUXIII/2015 dilatar belakangi oleh Ike Farida sebagai perempuan yang melakukan permohonan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 21 ayat (1), ayat (3) dan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menganggap hak konstitusionalnya sebagai pemohon merasa dirugikan.  Selain itu juga merugikan seluruh warga negara Indonesia yang kawin dengan warga negara asing lainnya, Kemudian Ike Farida juga mengajukan Judical Review terhadap Pasal 29 ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan Pasal (35) ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang menurutnya telah mengekang hak kebebasan berkontrak seseorang, maka dari itu Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 29 ayat (1) yang sebelumnya berbunyi: Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Diubah menjadi: ―Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. 

Untuk Perkawinan Campuran akan menjadi masalah Hukum Perdata internasional, karena akan terpaut 2 (dua) sistem hukum perkawinan yang berbeda, yang dalam penyelesaiannya dapat digunakan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 6 ayat 1 GHR (Regeling op de gemengde huwelijken) S. 1898 yaitu diberlakukan hukum pihak suami. Masalah harta perkawinan campuran ini apabila pihak suami warga negara Indonesia, maka tidak ada permasalahan, karena diatur berdasarkan hukum suami yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan apabila isteri yang berkebangsaan Indonesia dan suami berkebangsaan asing maka dapat menganut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 6 ayat (1) GHR, yaitu diberlakukan hukum pihak suami.

Berdasarkan hal di atas banyak bermunculan masalah tentang status kepemilikan hak atas tanah apabila warga negara Indonesia (WNI) menikah dengan warga negara asing (WNA). Terlebih dahulu dipertanyakan kembali pada pasangan beda warga negara tersebut, apakah menikah dengan Perjanjian Kawin (Prenuptial Agreement). Apabila mereka membuat Perjanjian Kawin, maka tidak ada percampuran harta sehingga harta akan dimiliki oleh masing - masing pihak dan menjadi milik masing-masing. Sebaliknya apabila pasangan perkawinan campuran tidak ada Perjanjian Kawin, maka harta yang dimiliki selama perkawinan menjadi harta bersama pasangan tersebut. Dengan kata lain warga negara asing (WNA) ikut memiliki setengah dari harta (tanah) tersebut sehingga warga negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan warga negara asing (WNA) tanpa Perjanjian Kawin dipaksa untuk tunduk pada ketentuan peraturan yang diperuntukkan bagi orang asing. Hal yang demikian secara yuridis menjadi sebuah problematika karena terjadi ambiguitas makna mengenai kepemilikan hak atas tanah bagi pasangan menikah campuran yang pada akhirnya dapat meniadakan perlindungan hukum bagi warga negara Indonesia yang menikah campuran.

Frasa yang terdapat didalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tersebut menyebabkan tidak adanya batasan waktu terhadap pasangan suami istri untuk membuat perjanjian perkawinan, yang sebelumnya hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung kini sudah dapat dibuat sepanjang ikatan perkawinan berlangsung.


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan hukum perjanjian perkawinan yang dibuat dalam perkawinan campuran terhadap hak milik atas tanah?


C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui kedudukan hukum perjanjian perkawinan yang dibuat dalam perkawinan campuran terhadap hak milik atas tanah.


D. Metode Penelitian

L. Morris Cohen mendefinisikan penelitian hukum sebagai segala aktifitas seseorang untuk menjawab permasalahan hukum yang bersifat akademik dan praktisi, baik yang bersifat asas-asas hukum, norma-norma  hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, maupun yang berkenaan dengan kenyataan hukum dalam masyarakat. 

Adapun dalam metode penelitian ini, penulis menggunakan komponen-komponen sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam tulisan ini adalah penelitian hukum yuridis normatif. Penelitian hukum yuridis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan.  Penelitian yuridis normatif sering dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas. 

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah secondary data atau data sekunder yang mencakup dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. Data sekunder digolongkan menjadi bahan hukum yang terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.  Bahan tersebut terdiri dari :

1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata 

2) Undang-Undang Perkawinan dan BW

3) Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 69/PUU-XIII/2015

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum berupa dokumen-dokumen resmi, buku-buku hasil penelitian yang berwujud laporan, jurnal, dan lainnya. 

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum tersier yang berupa kamus hukum, bahan seminar, media massa, dan internet. 

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau library research, artinya sebuah teknik dengan mengkaji buku-buku atau kitab-kitab terkait dengan penelitian ini yang berasal dari perpustakaan (bahan pustaka). Semua sumber berasal dari bahan-bahan tertulis (cetak) yang berkaitan dengan permasalahan penelitian dan literatur-literatur lainnya (elektronik).  

4. Analisis Data

Analisis data merupakan penyusunan terhadap data yang telah diolah untuk mendapatkan suatu kesimpulan. Data yang telah diperoleh dari hasil memilah data akan disajikan secara teratur dan sistematis. Data akan diolah secara yuridis kualitatif, yaitu dengan memperlihatkan fakta-fakta data hukum yang dianalisis dengan uraian kualitatif terhadap fokus penelitian. Analisis akan dilakukan terhadap data sekunder yang telah diperoleh selama penelitian. Uraian data penelitian berwujud kata-kata tanpa menggunakan angka-angka dengan berpangkal pada hukum atau norma yang berlaku.


KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL

A. Teori Perjanjian Perkawinan

Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak yang berjanji atau dianggap berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal sedangkan pihak lain berhak untuk pelaksanaan janji itu.  Suatu perkawinan harus di dasarkan persetujuan atau kesepakatan di antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai calon suami dan istri. Hal ini sesusai dengan ketentuan Pasal (6) Undang-Undang Perkawinan Ayat 1 yang menyatakan bahwa Perkawinan harus di dasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

Kata sepakat merupakan salah satu unsur dalam syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

a. Adanya kesepakatan diantara mereka yang mengikatkan dirinya.

b. Kecakapan untuk membuat perjanjian.

c. Sesuatu hal tertentu atau objek tertentu.

d. Adanya suatu sebab yang halal.

Perjanjian perkawinan ialah perjanjian ataupun persetujuan yang dibuat oleh calon suami isteri, sebelum atau pada saat perkawinan itu dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat dari perkawinan tersebut terhadap harta kekayaan mereka. Dibuatnya perjanjian perkawinan sebagaimana dalam Undang-undang tersebut haruslah dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan dan/atau dapat dibuat dalam bentuk akta otentik dimuka notaris, akta otentik itu sangat penting karena dapat dijadikan bukti dalam persidangan pengadilan apabila terjadi sengketa tentang harta bawaan masing-masing diantara mereka (suami-istri).

Perjanjian Perkawinan ini telah ditentukan dalam peraturan perundangundangan sepanjang tidak menyalahi tata susila dan ketentraman umum yang berlaku dalam masyarakat. Pernyataan tersebut berlaku sebelum keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi N0.69/PUU-XIII/2015. Sebaliknya Perjanjian Perkawinan yang dianggap masih tabu dilakukan oleh masyarakat awam justru telah menjadi gejala baru di kalangan tertentu seperti selebritis, pengusaha dan lain-lain. Mereka umumnya berpandangan bahwa dengan adanya Perjanjian Perkawinan harta miliknya akan terjamin aman apabila terjadi perceraian.

Dari definisi perjanjian yang diterangkan diatas terlihat bahwa suatu perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji atau kesanggupan oleh para pihak, baik secara lisan maupun secara tertulis untuk melakukan atau menimbulkan akibat hukum.


B. Konsep Perkawinan

Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Kompilasi Hukum Islam, perkawinan adalah akad yang sangat kuat dan mitsaaqan ghaliidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.  Perkawinan adalah sebuah gerbang untuk membentuk keluarga yang bahagia. Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di dalam bidang hukum keluarga, sebagian orang berpendapat suatu perkawinan merupakan persetujuan belaka dalam masyarakat antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, seperti persetujuan dalam jual beli, sewa-menyewa dan lain sebagainya.

Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan. Perkawinan campuran yang ada di Indonesia harus memenuhi syarat-syarat perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan: (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku‖. Setelah syarat-syarat terpenuhi calon suami-isteri meminta kepada pegawai pencatat perkawinan untuk memberikan surat keterangan terpenuhinya syarat-syarat dan tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan, tidak menyebutkan secara spesifik hal-hal yang dapat diperjanjikan, kecuali hanya menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat disahkan jika melanggar batas-batas hukum dan kesusilaan. Ini artinya, semua hal, asal tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan dapat dituangkan dalam perjanjian tersebut, misalnya tentang harta sebelum dan sesudah kawin atau setelah cerai, pemeliharaan dan pengasuhan anak, tanggung jawab melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, pemakaian nama, pembukaan rekening Bank, hubungan keluarga, warisan, larangan melakukan kekerasan, marginalisasi (hak untuk bekerja), subordinasi (pembakuan peran). Menurut Subekti, ―perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.  Dalam Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 mengatur bahwa: Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Haji Abdulah Sidik, mengatakan bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang hidup bersama (bersetubuh). Tujuannya adalah membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, serta mencegah perzinahan dan menjaga ketentraman jiwa dan bathin.  Perumusan yang lebih luas adalah perjanjian kawin merupakan perjanjian yang dibuat calon suami istri untuk mengatur harta benda dalam perkawinan. Bedanya dengan pendapat Soetojo Prawirohamidjojo adalah terletak pada subjeknya yaitu menurut beliau subjeknya adalah calon suami istri karena berdasarkan peraturan yang berlaku perjanjian itu sebelum atau saat terjadinya perkawinan, dalam hal ini belumlah sebagai suami istri. Begitu juga yang ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 47, bahwa sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam, perjanjian kawin dapat meliputi percampuran harta pribadi, pemisahan harta pencaharian masing-masing, menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik (perjanjian dengan pihak Bank, misalnya) atas harta pribadi dan harta bersama.


C. Teori Harta Bersama

Menurut Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa: Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.‖ ini berarti bahwa harta bersama itu terbentuk sejak tanggal terjadinya perkawinan atau sejak akad nikah dilangsungkan sampai perkawinan itu putus baik putus karena kematian atau perceraian. Ketentuan tentang suatu barang atau benda termasuk harta bersama atau tidak ditentukan oleh faktor selama perkawinan antara suami dan istri berlangsung, semua barang atau harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung menjadi harta bersama kecuali harta yang didapatkan oleh masing-masing suami istri berupa warisan, wasiat dan hibah oleh satu pihak, harta ini menjadi harta pribadi yang menerimanya. sehingga yang termasuk harta bersama adalah hasil dan pendapatan suami, hasil dan pendapatan istri. 

Harta bersama adalah harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung sejak perkawinan dilangsungkan hingga perkawinan berakhir atau putusnya perkawinan akibat perceraian kematian maupun putusan Pengadilan . Harta bersama antara suami istri dapat dibagi ketika hubungan perkawinan telah berakhir atau telah terputus, hubungan perkawinan tersebut dapat terputus karena kematian, perceraian dan juga putusan pengadilan.  Ikatan perkawinan menjadikan adanya harta bersama antara suami istri, sebagaimana tertuang dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. Namun, bukan berarti dalam perkawinan yang diakui hanya harta bersama sebab berdasarkan KHI pasal 85, yang juga ditegaskan oleh Ahmad Rofiq dalam bukunya yang berjudul Hukum Islam Di Indonesia, dinyatakan bahwa ―adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri. 


D. Teori Kepastian Hukum

Relevansi konsep kepastian hukum digunakan dalam penelitian ini adalah untuk membahas rumusan masalah pertama yaitu pengaturan pembuatan perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Selain itu teori kepastian hukum juga digunakan untuk membahas rumusan masalah kedua yaitu akibat hukum pembuatan perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadapkepemilikan hak milik atas tanah dalam perkawinan campuran. Pengertian asas kepastian hukum terdapat di dalam Penjelasan Pasal 3 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam Penjelasan tersebut menyatakan asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.  

Urgensi konsep kepastian hukum digunakan dalam penelitian ini karena secara normatif peraturan perundang-undangan harus dibuat dan diundangkan secara pasti dan jelas, dalam artian tidak menimbulkan multi tafsir dan tidak menimbulkan kekaburan dan kekosongan norma. Perjanjian perkawinan tidak langsung menimbulkan ketidak kepastian hukum, karena secara normatif perjanjian-perjanjian perkawinan tersebut adalah batal demi hukum. Perjanjian-perjanjian tersebut di hadapan hukum tetap diakui, namun terdapat kesulitan dalam hal pembuktian di pengadilan karena kebanyakan perjanjian-perjanjian tersebut dibuat dengan akta notaris sehingga menjadi alat bukti yang sempurna. Dalam sistem peradilan perdata hakim lebih melihat kebenaran formal dari pada kebenaran material. Meskipun hakim mempunyai keyakinan bahwa serangkaian perjanjian-perjanjian tersebut merupakan perjanjian simulasi atau nominee agreement, hakim tidak bisa serta merta dapat membatalkan perjanjian tersebut kecuali dapat dibuktikan bahwa ada kausa yang terlarang dalam perjanjian-perjanjian tersebut.

PEMBAHASAN

Salah satu akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan yang sah adalah timbulnya hak milik bersama antara suami dan istri. Demikian pula munculnya hak milik pada dasarnya merupakan bagian dari pencapaian kebahagiaan perkawinan. Di satu sisi, bantuan sosial merupakan salah satu hak paling mendasar yang diatur dalam Pasal UU HAM 39/1999.  Sehingga harta di dalam perkawinan memainkan peran penting pada prosesnya sebagai bagian dari sebuah perbuatan hukum.  Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing pasangan. Harta milik umum dapat berupa harta tak bergerak, harta bergerak, dan hak milik. Sedang yang tidak berwujud dapat berupa hak atau kewajiban. Keduanya dapat dijadikan jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak yang lain. Suami istri tidak diperbolehkan menjual atau memindahtangankan harta bersama tanpa persetujuan salah satu pihak. Dalam hal ini, kedua pasangan bertanggung jawab mengelola aset bersama. Dari segi utang, utang suami istri dapat diperhitungkan terhadap hartanya masing-masing. Sedangkan untuk utang yang diperjanjikan untuk kepentingan keluarga maka dibebankan pada harta suami. Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi, maka dibebankan pada harta istri.

Di Indonesia harta bersama dalam perkawinan di atur dalam UU Perkawinan, Bab VII pada Pasal 35,36 dan 37. Pada Pasal 35 (1) di jelaskan, harta benda yang di peroleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Pasal 36 mengatur status harta yang di peroleh masing-masing suami istri. Pada Pasal 37, di jelaskan apabila perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama di atur menurut hukumnya masing-masing. Dalam hukum islam, harta bersama suami istri pada dasarnya tidak di kenal, karena hal ini tidak di bicarakan secara khusus dalam kitab fiqih. Hal ini sejalan dengan asas pemilikan harta secara individual (pribadi). Atas dasar asas ini, suami wajib memberikan nafkah dalam bentuk biaya hidup dengan segala kelengkapannya untuk anak dan istrinya dari harta suami sendiri. Selanjutnya, apabila salah seorang dari suami istri meninggal dunia, maka harta peninggalannya itu adalah harta pribadinya secara penuh yang di bagikan kepada ahli warisnya, termasuk istrinya/suaminya. Kendatipun ada hak kepemilikan pribadi antara suami istri dalam kehidupan keluarga, tidak tertutup kemungkinan ada harta bersama antara suami istri, sebagaimana yang berlaku dalam masyarakat indonesia ini dalam bentuk syirkah (kerja sama) antara suami istri , baik syirkah dalam bentuk dalam bentuk harta maupun dalam bentuk usaha.

Dalam tataran yuridis, UU Perkawinan sendiri mengatur beberapa ketentuan terkait harta perkawinan yang mana semata-mata berfungsi agar hak atas harta perkawinan para pihak diatur secara tegas terkait luas ruang lingkupnya sehingga tidak terjadi benturan hak antar para pihak.  Suatu Perkawinan mempunyai aspek yang cukup luas, meliputi aspek sosial dan hukum, mulai dari saat perkawinan, pada saat perkawinan dan setelah perkawinan, karena dalam perkawinan akan banyak terjadi hal-hal seperti: Permasalahan, Permasalahan harta benda dan warisan, jika tidak lalu dimana? peraturan yang jelas, terutama masalah pembagian harta warisan orang yang meninggal dunia atau orang yang bercerai, termasuk masalah harta warisan tersendiri dan harta bersama dalam perkawinan, hal ini akan menimbulkan permasalahan di kemudian hari.

Pasal 119 ayat (1) BW mengatur bahwa : ―Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin pendaftaran diadakan ketentuan lain.‖Menurut BW, apabila suami dan isteri pada waktu akan melakukan pernikahan tidak mengadakan perjanjian pisah harta diantara mereka maka akibat dari perkawinan itu ialah pencampuran kekayaan suami dan isteri menjadi satu milik orang berdua bersama-sama dan bagian masing-masing dalam kekayaan bersama itu adalah separuh. Dalam Pasal 120 jo 121 BW diatur bahwa persatuan bulat itu meliputi :

a.Benda bergerak dan tidak bergerak baik yang dimiliki sekarang maupun kemudian hari.

b. Hasil perkawinan dan keuntungan yang diperoleh selama perkawinan

c. Utang-utang suami / istri sebelum dan sesudah perkawinan

d. Kerugian-kerugian yang dialami selama perkawinan

Dalam hal terdapat perjanjian perkawinan maka Pasal 139 BW menentukan bahwa para calon suami-istri dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dari peraturan undang-undang mengenai harta bersama (persatuan bulat), sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang baik atau dengan tata tertib umum dan ketentuan-ketentuan berikut (Pasal-Pasal selanjutnya dalam Bab tentang perjanjian kawin).

Mengenai pembagian harta benda perkawinan, apabila perkawinan dilakukan dengan persatuan harta benda, Pasal 128 mengatur : Setelah bubarnya persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka masing-masing, dengan tak mempedulikan soal dari pihak yang manakah barang-barang itu diperolehnya. Jadi harta perkawinan dalam BW hanya dikenal satu jenis harta yaitu harta persatuan bulat yang terjadi secara otomatis demi hukum dimana pencampuran harta milik suami dan istri baik harta yang dibawa atau diperoleh masing-masing pasangan sebelum pernikahan maupun yang diperoleh selama perkawinan meliputi semua hutang dan piutang suami istri. Harta persatuan bulat terjadi bilamana perkawinan dilangsungkan tanpa adanya perjanjian kawin.

Dalam ranah ilmu hukum keperdataan mengenal adanya klasifikasi terkait hak kepemilikan harta perkawinan yang mana secara garis besar terbagi menjadi dua hak, yaitu hak milik pribadi dan hak milik bersama antar para individu di dalam perkawinan—disebut juga harta bersama. Sederhananya, harta bersama adalah harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung terhitung sejak perkawinan dilangsungkan hingga perkawinan berakhir.191 Selaras dengan definisi tersebut, menurut Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan juga menyebutkan bahwa harta bersama suami-istri meliputi harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung.

Dilihat dari ketentuan yang berlaku saat ini, Pasal 119 BW sendiri dengan jelas menyebutkan bahwa sejak perkawinan terjadi penggabungan harta secara tidak langsung antara kedua belah pihak.  Menyangkut hal ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 139 Pasal 154. BW. Di satu pihak, bila suatu perkawinan putus, BW melalui Pasal 128 dan 129 menentukan pembagian harta yang sama bagi kedua belah pihak tanpa memperhatikan kepada siapa harta itu dialihkan. Lebih lanjut, Pasal mengatur tentang akad nikah mengenai pembagian harta menurut cara yang diperbolehkan menurut undang-undang sepanjang tidak menyimpang dari norma yang berkembang di masyarakat. 

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dapat dipahami bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung menjadi harta bersama para pihak. Terkait harta bersama ini, baik suami ataupun istri tetap mampu bertindak untuk berbuat sesuatu atas harta tersebut selama dilandasi persetujuan antar para pihak. Di sisi lain, disebutkan juga bahwa kedua belah pihak memiliki hak seutuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama tersebut bilamana perkawinan putus karena perceraian, sehingga harta bersama tersebut diatur menurut hukum masing-masing. Lebih lanjut lagi, jika merujuk pada Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan juncto Pasal 87 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, Istri justru memiliki hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta pribadi masing-masing. Sederhananya, tiada perbedaan kekuatan hukum antara suami maupun istri untuk bertindak atas harta pribadi mereka.

Di samping itu, terkait wujud harta pribadi itu sendiri, merujuk pada Pasal 35 UU Perkawinan sejatinya harta yang menjadi milik pribadi adalah harta bawaan, yaitu harta yang sudah ada jauh sebelum perkawinan dilangsungkan ataupun harta yang diperoleh selama perkawinan namun berupa hibah, warisan dsbnya.195 Di luar dua jenis harta tersebut maka tergolong ke dalam harta bersama. Sehingga semua harta yang diperoleh pasangan suami-istri selama masa perkawinan menjadi harta bersama, baik itu diperoleh sendiri-sendiri atau bersama-sama. Demikian pula harta benda yang dibeli selama masa perkawinan— tidak penting dibeli oleh istri atau suami ataupun atas nama siapa harta tersebut didaftarkan—akan tetap menjadi harta bersama selama tiada perjanjian perkawinan yang menentukan sebaliknya. 

Salah satu akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah adalah terciptanya harta benda perkawinan. Harta atau kekayaan perkawinan diperlukan guna memenuhi segala keperluan yang dibutuhkan dalam kehidupan berkeluarga. Harta tersebut ada yang diperoleh sebelum perkawinan dan sesudah dilangsungkannya perkawinan. Mengenai harta kekayaan dalam perkawinan telah diatur dalam UU Perkawinan, BW dan KHI. Namun dalam tulisan ini hanya akan membahas pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan dan KHI. Ketentuan tentang harta kekayaan perkawinan dalam UU Perkawinan diatur pada bab VII dengan judul ―harta benda dalam perkawinan‖ yang terdiri dari tiga Pasal yaitu Pasal 35, 36 dan 37. 

Di sisi lain, terkait pengurusan harta bersama dalam perkawinan, peraturan perundang-undangan—khususnya BW—memberikan kewenangan yang besar bagi suami. Dalam hal ini, suamilah yang berhak mengurus harta bersama dan bertindak atas segala perbuatan terhadap harta tersebut. Ketentuan terkait pengurusan harta bersama sejatinya diatur melalui Pasal 124 BW, isi Pasal tersebut antara lain berbunyi : pertama, dalam hal ini hanya suami yang boleh mengurus harta bersama itu; kedua, suami boleh melakukan segala perbuatan atas harta tersebut tanpa bantuan istrinya, kecuali dalam hal yang diatur dalam Pasal 140; ketiga, suami tidak boleh memberikan harta bersama sebagai hibah antara mereka yang sama-sama masih hidup, baik barang-barang tak bergerak maupun keseluruhannya atau suatu bagian atau jumlah yang tertentu dan barang-barang bergerak, bila bukan kepada anak-anak yang lahir dan perkawinan mereka, untuk memberi suatu kedudukan; keempat, Bahkan dia tidak boleh menetapkan ketentuan dengan cara hibah mengenai sesuatu barang yang khusus, bila dia memperuntukkan untuk dirinya hak pakai hasil dari barang itu. Berangkat dari ketentuan tersebut, pada hakikatnya dapat diketahui bahwa dalam hal pengurusan harta suamilah yang memegang kendali penuh dan seutuhnya berwenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan atas harta tersebut. 

Meskipun suami mendapat porsi yang besar dalam hal pengurusan harta perkawinan, di satu sisi terdapat perkecualian yang menyebutkan bahwa suami justru tidak boleh mengurus harta perkawinan tersebut. BW melalui Pasal 140 ayat (3) menentukan bahwa para pihak berhak untuk membuat perjanjian perkawinan yang mana setiap perbuatan suami terhadap segala harta pribadi atas nama istri yang dalam prosesnya menjadi harta bersama, tidak boleh dibebani oleh suami tanpa persetujuan istri. Dengan demikian, walaupun BW secara tegas memberikan wewenang yang lebih besar bagi suami dalam hal pengurusan harta—hal ini sejatinya tak lepas dari status suami sebagai kepala dalam sebuah lembaga perkawinan—tetapi di sisi lain BW juga membatasi perbuatan suami, yang mana suami tidak berhak untuk mengurusi harta-harta kekayaan di luar harta bersama. 

Sehingga, kewenangan yang begitu besar diberikan untuk suami sejatinya dibatasi oleh dua hal sebagaimana yang terangkum berikut: Pertama, Dibatasi oleh peraturan perundangundangan. Kekuasaan suami dalam mengurus harta bersama dibatasi oleh undang-undang. Hal ini diatur dalam BW Pasal 124 ayat 3. Suami dan istri juga boleh menghibahkan secara bersama-sama. Pasal 124 ayat 3 di atas memberikan pengecualian terhadap hibah yang difungsikan untuk memerhatikan kedudukan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka. Artinya, hibah yang dilakukan adalah untuk kepentingan anak-anak dan masa depannya. Dalam bentuk hibah seperti ini, suami diperbolehkan untuk tidak meminta bantuan istrinya. Kedua, Dibatasi dengan Kesepakatan Suami Istri dalam Perjanjian Perkawinan. Menurut ketentuan Pasal 119 BW, apabila calon suami istri sebelum perkawinan dilangsungkan tidak dibuat perjanjian kawin, dalam mana persatuan (campuran) harta kekayaan dibatasi atau ditiadakan sama sekali, maka demi hukum akan ada persatuan (campuran) bulat antara harta kekayaan suami dan istri, baik yang mereka bawa dalam perkawinan, maupun yang mereka akan peroleh sepanjang perkawinan. 

Penyeragaman hukum dalam masalah pembagian harta bersama tersebut memang merupakan sebuah komitmen dari upaya unifikasi hukum untuk mengatasi konflik yang mungkin muncul antara para pihak karena adanya pluralisme hukum. Namundemikian, muncul pertanyaanya itu sejauh manakah konsepsi pembagian harta bersama tersebut dapat memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat yang heterogen? Terlebih lagi, apakah konsepsi pembagian harta bersama tersebut juga dapat memenuhi rasa keadilan dalam hal hanya salah satu pasangan yang berjasa atau memiliki kontribusi dalam memperoleh harta bersama tersebut.

Perjanjian kawin merupakan perwujudan dari adanya kesepakatan antara para pihak calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Secara prinsip, isi dari perjanjian kawin memuat:

a. Pemisahan Harta

b. Harta Kekayaan

c. Bukti Kepemilikan

d. Hak dan Kewajiban Para Pihak

e. Biaya-biaya untuk Keperluan Rumah Tangga

f. Berakhir/peritungan menurut Hukum

g. Domisili

Pasal 1338 KUH Perdata ―semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.Perjanjian-perjanjian termasuk perjanjian kawin tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.Perjanjian kawin harus dilaksanakan dengan itikad baik.Pasal ini merupakan pasal yang paling populer karena disinilah disandarkan asas kebebasan berkontrak, walaupun ada juga sarjana yang menyandarkannya pada Pasal 1320 KUH Perdata atau pada keduanya. Namun, apabila dicermati pasal ini, khususnya ayat (1) atau alenia (1), sebenarnya ada tiga hak pokok (asas) yang terkandung di dalamnya, yaitu:

a. Pada kalimat ―semua perjanjian yang dibuat secara sah‖ menunjukkan asas kebebasan berkontrak.

b. Pada kalimat ―berlaku sebagai undang-undang‖ menunjukkan asas kekuatan mengikat atau yang orang sebut asas pacta sunt servanda.

c. Pada kalimat ―bagi mereka yang membuatnya‖ menunjukkan asas personalitas.

Lembaga Hukum perjanjian kawin, pada dasarnya tidak dikenal dalam hukum adat dan lembaga tersebut diadopsi dari Hukum Perdata Barat. Mungkin di kemudian hari, dengan kemajuan ekonomi, ramainya lalu lintas perdagangan, kemajuan pembangunan pada umumnya, serta berjalannya proses individualisasi dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, lembaga tersebut dapat merupakan suatu kebutuhan hukum bagi bangsa Indonesia. UndangUndang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menampung lembaga tersebut. Selanjutnya perlu diingat, bahwa Hukum Adat (dan juga Undang-Undang Perkawinan) menganut asas yang berbeda, sehingga untuk terpisahnya harta yang dibawa suami/istri dari harta bersama, tidak perlu ditempuh melalui perjanjian kawin, tetapi memang demikian itu asasnya menurut UndangUndang Perkawinan dan Hukum Adat, jadi terjadi demi hukum.

Perjanjian perkawinan tersebut harus dibuat atas persetujuan bersama, dengan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, sebelum perkawinan itu berlangsung atau pada saat perkawinan berlangsung dan perjanjian perkawinan tersebut mulai berlaku sejak perkawinan itu dilangsungkan. Perjanjian semacam ini biasanya berisi janji tentang harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, lazimnya berupa perolehan harta kekayaan terpisah, masing-masing pihak memperoleh apa yang diperoleh atau didapat selama perkawinan itu termasuk keuntungan dan kerugian.

Perjanjian perkawinan ini berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya, juga berlaku bagi pihak ketiga yang memiliki kepentingan terhadapnya. Alasan yang umumnya dijadikan landasan dibuatnya perjanjian setelah perkawinan adalah adanya kealpaan dan ketidaktahuan bahwa dalam UU Perkawinan ada ketentuan yang mengatur mengenai Perjanjian Perkawinan sebelum pernikahan dilangsungkan.

Menurut Pasal 29 UU Perkawinan, Perjanjian Perkawinan dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Alasan lainnya adalah adanya risiko yang mungkin timbul dari harta bersama dalam perkawinan sebab pekerjaan suami dan Istri memiliki konsekuensi dan tanggung jawab pada harta pribadi, sehingga masing-masing harta yang diperoleh dapat tetap menjadi milik pribadi. Selain itu, Mahkamah juga menganggap bahwa tujuan dibuatnya Perjanjian Perkawinan adalah:

a. Memisahkan harta kekayaan antara pihak suami dengan pihak istri sehingga harta kekayaan mereka tidak bercampur. Oleh sebab itu, jika suatu saat mereka bercerai, harta dari masing-masing pihak terlindungi, tidak ada perebutan harta kekayaan bersama atau gonogini.

b. Atas utang masing-masing pihak pun yang mereka buat dalam perkawinan mereka, masing-masing akan bertanggung jawab sendirisendiri.

c. Jika salah satu pihak ingin menjual harta kekayaan mereka tidak perlu meminta ijin dari pasangannya (suami/istri).

d. Begitu juga dengan fasilitas kredit yang mereka ajukan, tidak lagi harus meminta ijin terlebih dahulu dari pasangan hidupnya (suami/istri) dalam hal menjaminkan aset yang terdaftar atas nama salah satu dari mereka.

Tegasnya, ketentuan yang ada saat ini hanya mengatur perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, padahal dalam kenyataannya ada fenomena suami istri yang sebab alasan tertentu baru merasakan adanya kebutuhan untuk membuat Perjanjian Perkawinan selama dalam ikatan perkawinan. Selama ini sesuai dengan Pasal 29 UU Perkawinan, perjanjian yang demikian itu harus diadakan sebelum perkawinan dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu Akta Notaris. Perjanjian perkawinan ini mulai berlaku antara suami dan istri sejak perkawinan dilangsungkan. Isi yang diatur di dalam perjanjian perkawinan tergantung pada kesepakatan pihak-pihak calon suami dan istri, asal tidak bertentangan dengan Undang-Undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan. Adapun terhadap bentuk dan isi perjanjian perkawinan, kepada kedua belah pihak diberikan kebebasan atau kemerdekaan seluas-luasnya (sesuai dengan asas hukum ―kebebasan berkontrak).

Lebih lanjut Mahkamah menetapkan bahwa Frasa ―pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan‖ dalam Pasal 29 ayat (1), frasa ―...sejak perkawinan dilangsungkan‖ dalam Pasal 29 ayat (3), dan frasa ―selama perkawinan berlangsung‖ dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan membatasi kebebasan 2 (dua) orang individu untuk melakukan atau kapan akan melakukan ―perjanjian, sehingga bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon. Dengan demikian, frasa ―pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan‖ dalam Pasal 29 ayat (1) dan frasa ―selama perkawinan berlangsung‖ dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk pula selama dalam ikatan perkawinan.

Sementara itu, terhadap dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dengan dinyatakannya Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat maka ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan harus dipahami dalam kaitannya dengan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan dimaksud. Dengan kata lain, tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas terhadap Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan. Hanya saja bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian perkawinan, terhadap harta bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan tersebut berlaku ketentuan tentang perjanjian perkawinan sesuai dengan yang dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan sebagaimana disebutkan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi.

Sehingga atas pertimbangan tersebut Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai ―Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau Notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Secara tegas Mahkamah Konstitusi juga memutuskan bahwa Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan tidak memiliki kekuataan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ―Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau Notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Selanjutnya terhadap Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa norma di dalam Pasal tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai ―Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.

Termasuk Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan yang dianggap oleh Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ―Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.‖ Serta Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan yang juga dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai ―Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.

Dalam putusan tersebut, Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan juga dianggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ―Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.


PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan di atas maka penulis dapat menarik simpulan antara lain sebagai berikut :

Kedudukan hukum perjanjian perkawinan yang dibuat dalam perkawinan campuran terhadap hak milik atas tanah yaitu substansi dalam Perjanjian Kawin memuat hal-hal yang berkaitan dengan isi dari perjanjian kawin yaitu tentang: Pemisahan harta. Harta kekayaan. Bukti kepemilikan. Hak dan kewajiban para pihak.Biaya-Biaya untuk keperluan rumah tangga. Berakhir/ Perhitungan menurut hukum dan domisili. Pengaturan tersebut dapat dibedakan dalam kelompok-kelompok, adapun beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu syarat-syarat yang mengenai diri pribadi. syarat-syarat cara pembuatan akta dari mulai berlakunya perjanjian kawin. dan syarat-syarat mengenai isi perjanjian kawin.

B. Saran

Berdasarkan beberapa kesimpulan di atas, berikut ini dikemukakan beberapa saran yang ini peneliti sampaikan terkait peneliti kaji. Adapun hasil penelitian ini dapat diberikan saran sebagai berikut:

1.Kepada pihak yang melakukan perkawinan percampuran, diharapkan melakukan kejujuran dan transpansi kepemilikan harta bagi kedua belah dalam membuat perjanjian perkawinan. Hal tersebut sebagai upaya pemisahan harta benda dan hak miliki bagi pihak suami dan istri. Transparansi dibutuhkan untuk menghindari penyelundupan hukum yang pada akhirnya menciderai ketentuan mengenai hak milik atas tanah di Indonesia seperti tertuang pada Pasal 21 ayat (1) UUPA.

2.Kepada pejabat notaris yang membantu pembuat perjanjian perkawinan bagi perkawinan campuran, diharapkan bertindak seksama dan berpedoman pada asas kehati-hatian agar perjanjian perkawinan yang dibuat berlandaskan pada asas itikad baik kedua pihak suami dan istri. Hal tersebut perlu diperhatiakn agar perjanjian perkawinan yang dibuat tidak bertentangan dengan norma dan ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia.(***)


Sonny Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan Kajian Terhadap Kesetaraan Hak dan Kedudukan Suami dan Isteri atas Kepemilikan Harta dalam Perkawinan. (Bandung: Refika Aditama, 2015), h. 1

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia (Bandung: Sumur, cet.8, 1984), h. 14-15

Al-Daulah, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU/XIII/2015, Vol. 7, No.1, April 2017 13 

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 69/PUU-XIII/2015

L Morris Cohen dan  Zainudin Ali, 2010,  Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 19.

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, 2010,  Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, hlm. 23.

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, 2010,  Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, hlm. 23.

Amirudin dan Zainal Asikin, 2004,  Pengantar Metode Penelitian Hukum, Grafindo Jakarta, hlm 118. 

Bambang Sunggono, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 11.

Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press , Jakarta, halm 12.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit,., hlm 13-14.

Sutrisno Hadi, 1980, Metodologi Riserch 1, Gajah Mada, Yogyakarta, hlm 3.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian (Jakarta: Mandar Maju, 2011, h. 4

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 2012), h. 114

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2015), h. 23

Haji Abdullah Sidik, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Tinta Emas, 2013), h. 25.

Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia (Jakarta: Universitas Indonesia, 2014), h. 96.

Arifah S. Maspeke, Kedudukan Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Fiqih Dan Hukum Positif Indonesia Serta Praktek Putusan Pengadilan Agama, Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 2 Juni 2020.

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2017), h. 201.

Jimmy Zeravianus Usfunan, 2015. Konsep Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan. Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum. Program Pascasarjana, Universitas Udayana. Hal. 124.  

Besse Sugiswati, Konsepsi Harta Bersama Dari Perspektif Hukum Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Hukum Adat, Perspektif, Vol. 19, No. 3, September, 2014, h. 201. 193 Ibid., h. 7.

Mark Cammack, Lawrence A. Young, dan Tim Heaton, “Legislating Social Change in an Islamic Society-Indonesia’s Marriage Law, The American Journal of Comparative Law, Vol. 44, No. 1, 1996, h. 45.

Ruth Sarah Lee, Locking in Wedlock: Reconceptualizing Marriage under a Property Model, Vol. 17, No. 2, 2012, h. 37.

Evi Djuniarti, Op. Cit., h. 59

Farida Novita Sari dan Umar Ma’ruf, Perlindungan Hukum Terhadap Harta Dalam Akta Perjanjian Kawin Yang Dibuat Oleh Notaris Bagi Warga Negara Indonesia Yang Beragama Islam, Vol. 4, No. 2, 2017, h . 6.

 Arifah S Maspeke dan Akhmad Khisni, Op. Cit., h. 58


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Anton Suyanto,  2016, Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Kredit Macet Melalui Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Tanpa Proses Gugatan Pengadilan, Kencana, Jakarta 


Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 2012)


Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2017


Haji Abdullah Sidik, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Tinta Emas, 2013)


Sonny Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan Kajian Terhadap Kesetaraan Hak dan Kedudukan Suami dan Isteri atas Kepemilikan Harta dalam Perkawinan. (Bandung: Refika Aditama, 2015)


Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2015)


Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia (Jakarta: Universitas Indonesia, 2014)


Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia (Bandung: Sumur, cet.8, 1984)


B. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Undang-undang Perkawinan dan BW


C. Jurnal dan Karya Ilmiah lainnya

Arifah S. Maspeke, Kedudukan Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Fiqih Dan Hukum Positif Indonesia Serta Praktek Putusan Pengadilan Agama, Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 2 Juni 2020.


Evi Djuniarti, Hukum Harta Bersama Ditinjau Dari Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Kuh Perdata, Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017


Sonny Dewi Judiasih, Deviana Yuanitasari, dan Revi Inayatillah, Model Perjanjian perkawinan yang Dibuat setelah Perkawinan Berlangsung Pasca Berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, Masalah-Masalah Hukum, Vol. 47, No. 3, 2018.


D. Putusan 

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 69/PUU-XIII/2015

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama